A Dispensational Theologi
A DISPENSATIONAL THEOLOGI
Teologi Sistematika Dispensaional
PRAKATA
Inilah buku yang harus ditulis. Teristimewa, karena merupakan usaha kasih yang dihasilkan dari pena orang yang memberikan seluruh hidupnya dalam mempersiapkannya.
Buku ini harus ditulis karena begitu dibutuhkan. Dispensasionalisme telah sering disalah mengerti, begitu banyak diburuk-burukkan, biasanya karena tidak memahaminya. Di sini duduk persoalannya disajikan dengan jelas. Secara keseluruhan nada penyajiannya positif. Biarlah pembaca yang memutuskan apakah hal-hal tersebut benar, bukan di bawah terang prasangka tetapi di bawah terang ujian Alkitab; selidikilah untuk mengetahui “apakah semuanya itu benar demikian."
Buku ini ditulis secara jelas dan langsung, sebagaimana seharusnya buku pelajaran ditulis. Sumber-sumber standar telah dikutip dan didaftarkan pada catatan kaki sebagaimana biasa. Pemikiran-pemikiran yang disajikan dari sudut pandang pendirian penulis, didefinisikan dengan jelas dalam Bab 1.
Penulis, tamatan Wheaton College dan Dallas Theological Sem minary, telah menjadi penyelidik Firman di sepanjang hidupnya dan kini adalah Presiden Emeritus Grace Bible College, Grand Rapids, Michigan.
Dukungan terhadap karya ini tidak dengan mudah dianggap objektit oleh yang bertanda tangan. Ayah penulis juga telah melakukan ziarah dispensasional—sering tidak dipahami dan tidak jarang sendirian. Pengungkapan untuk mempelajari Firman dari sisi pandang ini telah bertahun-tahun meninggalkan jejaknya. Sebagian prakata ini merupakan penghormatan terhadap seorang ayah yang setia, yang telah lama berada dalam Kemuliaan, mengenai hal yang selalu dibicarakannya, dan jalan yang selalu diutarakannya dengan teliti, langsung, apa adanya, yakni bahwa semuanya semata-mata melalui darah tebusan Yesus Kristus yang bersifat menggantikan itu.
Barangkali penghargaan terbesar yang dapat diberikan kepada Bapak Baker adalah bahwa ia telah menghabiskan empat tahun menulis buku ini, sekitar dua puluh lima tahun mengajarkan isinya secara luar biasa, dan, yang paling meyakinkan, hidupnya yang dijalani dengan penuh buah.
Mereka yang mengenal Bapak Baker pasti dapat menegaskan fakta bahwa hidupnya telah menjadi suatu “surat yang dikenal dan yang dibaca semua orang,” hasil pemenuhan Firman terhadap semua orang yang dengan setia hidup dari Firman itu.
Namun, seperti yang dengan rendah hati digoreskan penulis pada paragraf terakhir, sasaran akhir buku ini bukanlah untuk menghimpun penghargaan terhadap Bapak Baker, tetapi, adalah untuk memuliakan Kristus dan memasyurkan-Nya.
Karya ini diluncurkan dengan doa agar melaluinya Allah segala Anugerah, satu-satunya yang layak disembah, kiranya dibesarkan.
Peter Veltman*
Wheaton, Illinois
Dr. Veltman, Dekan di Wheaton College
xiv
PRAKATA PENULIS
Sangat sedikit usaha yang telah dilakukan untuk menghasilkan karya di bidang teologi dengan orientasi dispensasional. Pengamatan terhadap sekitar dua lusin karya standar di bidang ini memunculkan kenyataan bahwa lebih dari separuhnya sama sekali tidak menyebut apa pun tentang pokok mengenai dispensasi-dispensasi. Kebanyakan dari mereka yang menyebutkan istilah alkitabiahnya hanya memberi rujukan yang ringkas saja tentang pokok tersebut, dan sorotan mereka terhadap pokok itu terutama dari sudut pandang Teologi Perjanjian, yang sepenuhnya telah gagal mengenali ciri berbeda dispensasi yang sedang berlangsung sekarang, yang oleh Paulus disebut dispensasi rahasia, rencana dan program Allah yang tersembunyi dari abad ke abad dan dari turunan ke turunan (Kolose 1:26). Hanya satu karya penting di bidang teologi ditemukan mengakui prinsip dispensasional dalam menafsirkan Alkitab.
Karena adanya kesalahpahaman dan salah konsepsi yang lazim ditemui di kalangan Kristen menyangkut metode dan hasil penafsiran dispensasional, dirasa baik bila di bagian awal ini disajikan pernyataan yang pasti tentang dasar-dasar ajaran yang di atasnya buku ini telah dibangun.
Pengilhaman verbal dan tiada salah atas keseluruhan Alkitab dalam tulisan aslinya diakui dan diyakini.
XV
Keseluruhan Alkitab diyakini bermanfaat bagi orang percaya sekarang ini, seperti kata Paulus bahwa bukan saja keseluruhan Alkitab itu dinapaskan Allah, tetapi juga bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran, dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik (2 Timotius 3:16, 17). Barangkali pendapat menyimpang paling umum mengenai pendirian dispensasional adalah bahwa pendirian ini memotong-motong Alkitab, menolak bagian terbesarnya sebagai hanya untuk orang Yahudi dan hanya menerima sedikit surat dari Perjanjian Baru saja. Selebihnya akan dikemukakan pada Pendahuluan dalam mempertahankan asas dispensasional.
Sementara tidak ada bagian Alkitab yang ditolak dan dikatakan bukan untuk orang percaya sekarang ini, diyakini juga bahwa tidak semua bagian Alkitab telah secara khusus ditujukan kepada orang Kristen sekarang untuk dituruti. Kenyataannya aman saja jika dikatakan bahwa tidak ada yang menganggap perintah untuk mempersembahkan binatang korban yang ada di dalam Alkitab itu ditujukan kepada orang percaya sekarang untuk dituruti, atau bahkan, tidak ada yang menganggap bahwa perintah dari Kristus sendiri untuk menuruti dan melakukan semua yang diajarkan oleh mereka yang menduduki kursi Musa (Matius 23:1-3) itu adalah untuk dilaksanakan sekarang ini.
Perbedaan nyata antara kerajaan Mesianis Israel di bumi dengan Gereja Tubuh Kristus tetap dipegang. Yang satu diyakini sebagai pokok semua nubuat yang diberikan sejak zaman dahulu (Kisah 3:19-21), sedangkan yang lainnya telah dirahasiakan dan tidak pernah diberitahukan kepada umat manusia dalam abad-abad dan generasigenerasi yang lampau sampai ketika hal itu dinyatakan kepada dan melalui rasul Paulus (Efesus 3:9).
Disini dipercayai bahwa keselamatan pribadi telah senantiasa melalui iman terhadap Firman Allah, tetapi karena Alkitab mengetengahkan penyataan bertahap yang meliputi banyak abad, objek iman itu menjadi tidak selalu sama, kecuali bila objek itu dikatakan sebagai Allah sendiri dan bukan berita tertentu yang diberikan oleh Allah untuk diterima. Tentu terlihat dari kesaksian Petrus dalam Matius 16:16 bahwa ia adalah orang yang telah diselamatkan, dan terlihat juga dari ayat-ayat sesudahnya serta dari Lukas 18:31-34 bahwa pada saat itu Petrus sama
xvi
sekali tidak mengetahui tentang kebenaran yang berkenaan dengan kematian dan kebangkitan Kristus, yang oleh Paulus dikatakan sebagai inti Injil keselamatan dispensasi sekarang (1 Korintus 15:1-3). Dan jika hal ini terjadi pada murid-murid yang hidup dalam masa pelayanan Yesus di bumi, apalagi yang harus dikatakan mengenai mereka yang hidup dalam masa awal penyataan yang diliputi bayang-bayang itu?
Lebih lanjut dipercayai bahwa dispensasi sekarang dimulai dengan penyataan khusus yang dipercayakan kepada Rasul Paulus sebelum ia menulis suratnya yang pertama. Sebagian orang memulai dispensasi sekarang dengan kelahiran Kristus, atau dengan pelayanan Yohanes Pembaptis, atau dengan pencurahan Roh Kudus pada hari Pentakosta. Namun, kami akan berusaha menunjukkan dari Alkitab bahwa semua peristiwa itu sedang menuju, termasuk Pentakosta, kepada Kerajaan Mesianis, dan bukan kepada Tubuh Kristus. Sebagai penguat bagi argumen ini dirasa perlu untuk melihat perbedaan-perbedaan antara berbagai gereja dalam Alkitab. Israel dikatakan sudah merupakan suatu gereja ketika masih berada dalam masa Perjanjian Lama (Kisah 7:38). Murid-murid Kristus telah merupakan suatu gereja ketika Kristus masih di bumi (Matius 18:17). Gereja yang ada pada hari pentakosta merupakan lanjutan dari gereja yang disebut Kristus sebagai kawanan kecil-Nya (Lukas 12:32), yang kepadanya Bapa akan memberikan kerajaan itu. Gereja yang merupakan pokok penyataan khusus yang diberikan kepada Rasul Paulus disebut Tubuh Kristus dan telah dinyatakan sebagai rahasia bagi semua angkatan sebelumnya dari umat manusia (Kolose 1:24-27). Gereja yang ada pada hari Pentakosta yang merupakan pewaris Kerajaan Mesianis di bumi (Kisah 1:6) tidak dapat memasuki kerajaan itu karena penolakan Israel terhadap Kristus sesudah kebangkitan-Nya (Roma 11:7-29). Kami berpendapat bahwa pada waktu itulah Allah mengangkat seorang rasul lain, di luar yang Dua Belas, lalu mengungkapkan kepada dan melalui rasul tersebut dispensasi rahasia menyangkut Gereja yang adalah Tubuh Kristus.
Dalam Eskatologi, buku ini memegang paham prakesengsaraan, pramilenial bagi kedatangan Kristus untuk anggota-anggota TubuhNya, dan kedatangan-Nya yang kedua kali ke bumi untuk mendirikan Kerajaan Mesianis-Nya adalah pada akhir masa Kesengsaraan (Tribulasi) Besar. Pada akhir pemerintahan Yesus selama seribu tahun, Alkitab menunjukkan akan ada suatu pemberontakan yang diprakarsai Iblis, disusul peristiwa kebangkitan, dan penghakiman terakhir di depan
xvii
Takhta Putih. Orang yang tidak selamat, bersama Iblis dan malaikatmalaikatnya akan dilemparkan ke dalam lautan api, yakni kematian kedua, tempat mereka menerima penghukuman dalam keadaan sadar selama-lamanya.
Pokok-pokok di atas memberikan pandangan sangat ringkas mengenai posisi (pendirian) dispensasional yang dianut penulis. Jika ada dari pandangan-pandangan tersebut yang kelihatan aneh atau baru bagi pembaca, diharapkan pembaca tidak segera menutup diri terhadapnya, tetapi akan berusaha menandingi orang-orang Berea yang bijaksana (Kisah 17:10-11), sehingga tidak sekadar membaca dan mempelajari pasal-pasal dalam buku ini, tetapi akan menyelidiki Alkitab untuk mengetahui apakah semuanya itu benar demikian.
Walaupun ditulis sebagai buku pelajaran untuk tingkat perguruan tinggi dan seminari, juga telah diusahakan agar buku ini tetap berguna bagi pembaca umum dengan sedapatnya menghindari ungkapanungkapan khusus teologi dan dengan mengadakan alih aksara terhadap kata-kata dalam bahasa Ibrani dan Yunani. Dianjurkan bagi mahasiswa teologi untuk memeriksa karya-karya standar Teologi Sistematika yang injili guna mendapatkan bahan lebih lengkap mengenai pokok-pokok tertentu, sebab bukanlah maksud buku ini untuk menduplikasi hal yang sudah ditulis para pakar yang rohani dan mampu di bidangnya, tetapi untuk menyajikan hal sangat penting yang telah diabaikan, yakni tuntutan dispensasional Alkitab.
Charles F. Baker
Grand Rapids, Michigan
xviii
Bagian Satu
Introduksi
1. PROLOG :
Pengantar Penafsiran Dispensasional
DEFINISI ISTILAH
Sebuah kamus mendefinisikan dispensasi dalam pengertian teologisnya sebagai “Salah satu dari beberapa sistem atau susunan peraturan yang di dalamnya pada periode-periode yang berbeda Allah telah menyatakan pikiran dan kehendak-Nya kepada manusia, atau keadaan berlanjutnya hal-hal yang menjadi bawaan dari pemberlakuan salah satu sistem tersebut; misalnya dispensasi Musa.”¹ Definisi ini mengakui bahwa pada periode-periode yang berbeda Allah telah menyatakan pikiran dan kehendak-Nya kepada manusia dalam berbagai sistem atau susunan peraturan. Jika definisi ini benar, mempelajari Alkitab secara dispensasional akan mendatangkan perhatian terhadap perbedaan-perbedaan atau kekhususan-kekhususan di antara berbagai sistem atau susunan peraturan yang melaluinya Allah telah memerintah manusia, sebagaimana perhatian terhadap persamaan-persamaannya. Namun, dari sudut pandang dispensasional, perbedaan-perbedaan tersebut jauh lebih penting dibanding persamaan-persamaannya. Jika, sebagai contoh, peraturan kecepatan maksimum mobil sama saja di semua negara bagian di Amerika Serikat,
1 The Practical Standard Dictionary of the English Language (New York: Funk and Wagnalls Co., 1927).
1.
hampir tidak ada bedanya apakah seseorang sedang menaati peraturan negara bagian Maine atau peraturan negara bagian California. Namun, jika peraturan tersebut berbeda di setiap negara bagian, tentu lebih bijaksana bagi seseorang untuk memeriksa peraturan negara bagian tempat ia sedang mengemudikan mobil. Dalam kasus ini perbedaan menjadi penting. Meskipun demikian, ada prinsip-prinsip yang tidak berubah dan berjalan terus sampai ke beberapa atau ke seluruh dispensasi lainnya, dan penting juga memerhatikan hal-hal yang sama itu.
Kata dalam bahasa Inggris, dispensation, yang berasal dari kata dalam bahasa Latin, digunakan untuk menerjemahkan kata dalam bahasa Yunani yang terdapat dalam Perjanjian Baru (PB), oikonomia. Kata oikonomia merupakan gabungan kata oikos (rumah) dan nemo (mendistribusikan atau membagikan makanan atau peraturan). Greek-English Lexicon karangan Liddel dan Scott mendefinisikan kata itu, “Manajemen rumah tangga atau keluarga, pertanian, penghematan.”? Ide penghematan didapatkan dari manajemen yang bijaksana terhadap rumah tangga dan tercermin dalam kata ekonomi yang kita miliki sekarang, yang merupakan alih aksara kata oikonomia. Oikonomos adalah pengelola atau pengurus rumah tangga. Kata ini selalu diterjemahkan steward (pelayan, pengurus) dalam Alkitab bahasa Inggris Authorized atau King James Version (KJV) (bandingkan Lukas 12:42; 16:1, 3, 8; Roma 16:23; 1 Korintus 4:1, 2; Galatia 4:2; Titus 1:7; 1 Petrus 4:10; dalam Alkitab Bahasa Indonesia Terjemahan Baru [TB]: pengurus rumah, bendahara, yang kepadanya dipercayakan, pengawas, pengatur rumah, pengurus). Oikonomia, dalam KJV diterjemahkan stewardship (kepelayanan, kepengurusan) dan dispensation (dispensasi) (bandingkan Lukas 16:2, 3, 4; 1 Korintus 9:17; Efesus 1:10; 3:2, 9; Kolose 1:25; 1 Timotius 1:4; TB: urusan, jabatan, tugas penyelenggaraan, tugas). Kata kerjanya muncul sekali saja (Lukas 16:2).
Dr. C. I. Scofield, yang Alkitab Referensinya telah membawa pengaruh besar dalam lapangan penafsiran dispensasional, mendefinisikan dispensasi sebagai “Periode waktu yang di dalamnya manusia diuji berkenaan dengan sejumlah penyataan khusus kehendak Allah.”3 Dr. L. Berkhof, yang mengakui bahwa kata dispensasi adalah alkitabiah, berpendapat Dr. Scofield telah menggunakan kata tersebut dengan pengertian tidak alkitabiah. Ia berkata, “Kata tersebut menunjukkan 3
2 Greek English Lexicon, Liddel & Scott (New York: Harper & Brothers, 1889).
3 Scofield Reference Bible (New York: Oxford University Press, 1945), hal. 5.
2.
kepengurusan, penataan, atau administrasi, tetapi tidak pernah merupakan masa pengujian atau masa percobaan." Savang sekali De Scofield telah mennilai definisinya dengan periodo waktu, karena dispensasi bukan periode waktu, walaupun harus diakui bahwa suatu dispensasi harus ber langsung dalam periode waktu tertentu, dan pasti hal itulah yang ingin dikatakan Dr. Scotield, Juga benar bahwa kata itu sendiri tidak memiliki kandungan arti masa pengujian, tetapi kata-kata Paulus tentu saja harus menjadi pertimbangan dalam hal ini, karena ia berkata, "Yang akhirnya dituntut dari pelayan-pelayan yang demikian ialah, bahwa mereka ternyata dapat dipercayai" (1 Korintus 4:2); dan harus juga diingat bahwa Tuhan kita pun memberi penekanan mengenai hal ini dalam perumpamaan-Nya tentang pengurus rumah yang tidak seria (Lukas 12:42-48). Pengurus rumah bukan pemilik rumah; ia hanya scorang hamba, dan tuannya perlu mengadakan ujian guna membuktikan jika ia dapat dipercaya. Karena itu ide Scotield tentang Allah menguji pengurus rumah-Nya tidaklah berlebihan.
Ryrie memberi apa yang disebutnya definisi ringkas, "Dispensasi adalah ekonomi yang dapat dibedakan dalam mengupayakan terlaksananya maksud Allah."' Ia juga menjelaskan, "Dispensasi dari sisi pandang Allah, ekonomi; dari sisi pandang manusia, tanggung jawab; dan dalam kaitan dengan penyataan yang berkembang bertahap, tahapan di dalamnya.""
Chafer setuju dengan Scofield dalam penekanan terhadap unsur waktu, la berkata,
Sebagai ukuran waktu, dispensasi adalah periode yang ditandai oleh hubungannya ngan maksud khusus Allah-maksud yang akan dilaksanakan dalam periode tersebut. Dispensasi-dispensasi awal, yang dari segi waktu berselang cukup jauh dari dispensasi sekarang, tidak didefinisikan sejelas seperti dispensasi yang lebih kemudian. Karena alasan ini para penafsir Alkitab tidak selalu bersepakat menyangkut ketepatan ciri-ciri periode yang lebih jauh.?
Dapat dilihat bahwa dalam kitab-kitab Injil kata yang pada KJV diterjemahkan steward dan stewardship atau dispensasation (dispensasi) telah digunakan dalam pengertian yang bersifat harfiah, jasmaniah, dan material;
⁴ Louis Berkhof, Systematic Theology (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Co., 1941), hal. 290,
⁵ Charles Caldwell Ryrie, Dispensationalism Today (Chicago: Moody Press, 1965), hal. 29.
⁶Ibid., hal. 32
⁷ L. S. Chafer, Systematic Theology (Dallas: Dallas Seminary Press, 1947). I, hal. 40.
3.
sedangkan Paulus menggunakan kata-kata tersebut dalam pengertian rohaniah mengenai rumah tangga Allah. Dari penggunaan Paulus terhadap kata-kata inilah para dispensasionalis mendapatkan wewenang mengaplikasikan istilahlı tersebut bagi pengaturan lainnya dari Allah pada masamasa yang lain. Jika Paulus sah menggunakan kata oikonomia terhadap rencana dan program Allah pada masa sekarang, tentu saja sah apabila istilah itu diaplikasikan pada pengaturan atau penyelenggaraan terhadap rencana dan kehendak Allah pada masa lampau maupun masa yang akan datang. Detinisi kamus yang dikutip di atas mengakui penggunaan demikian ketika berbicara tentang dispensasi Musa.
JUMLAH DISPENSASI
Ehlert telah menyusun sejarah dispensasionalisme yang menelusuri berbagai pandangan di dalamnya dari permulaan Kekristenan hingga masa kini. Studi tersebut menunjukkan bahwa para pembelajar Firman telah mengurai sejarah penyelamatan menjadi dua sampai dua belas dispensasi berbeda. Pastilah kebanyakan dari yang kini menyebut dirinya dispensasionalis, telah mengikuti agak dekat garis besar Dr. Scofield tentang tujuh dispensasi. Berkhof, ahli Teologi Perjanjian (Covenant Theology), menolak pandangan Scofield dan menyatakan, “Atas dasar semua yang telah dikemukakan, lebih dipilih untuk mengikuti garis tradisional dengan membedakan dua dispensasi atau administrasi saja, yakni Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru; lalu membagi lagi yang pertama ke dalam beberapa periode atau tahapan dalam penyataan perjanjian anugerah." Hodge, ahli lainnya dari kalangan Teologi Perjanjian, mengakui empat dispensasi. "O Menarik diperhatikan bahwa para ahli Teologi Perjanjian ini, yang melihat dispensasi sekarang sebagai yang terakhir dari semua dispensasi, telah sepenuhnya mengabaikan fakta bahwa Paulus masih berbicara tentang suatu dispensasi pada masa yang akan datang, yakni dispensasi kegenapan waktu (Efesus 1:10; KIV: That in the dispensation of the fulness of times .... Bahwa pada dispensasi kegenapan waktu ....), yang langsung menun jukkan bahwa bagan-bagan tersebut tidaklah cukup.
Sebagaimana ajaran lainnya yang diupayakan manusia untuk dirumuskan dari penyataan Firman itu, sudah diduga akan ada perbedaan
⁸ Arnold D. Ehlert, A Bibliographic History of Dispensationalism (Grand Rapids: Baker Book House, 1965). .,
⁹ Berkhof, op. cit, hal. 293.
¹⁰ Charles Hodge, Systematic Theology (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Co., 1940), II, hal. 373.
4.
pendapat dalam pokok tentang dispensasi. Para dispensasionalis tidak lebih bersepakat tentang jumlah dan pembagian dispensasi dibanding dalam ajaran tentang pemilihan dan kedatangan Kristus yang kedua kali. Sebagian orang menyebut diri mereka nondispensasionalis ataupun antidispensasionalis dengan berargumen bahwa tiadanya kesepakatan itu telah membuktikan kekeliruan ajaran ini. Namun setidaknya sikap tersebut adalah sikap yang diambil terlalu dini. Tiadanya kesepakatan seyogianya menjadi tantangan bagi studi yang lebih tekun lagi. Tidak ada seorang pun, kecuali Kristus, yang telah memiliki semua kebenaran. Studi dengan pikiran yang terbuka, tanpa prasangka, tentu akan mengantar orang-orang percaya semakin dekat pada kesatuan di bidang ini. Bukanlah tanda kerohanian jika menyebut diri antisesuatu yang ternyata ada di dalam Alkitab, sekadar untuk menghindari perbedaan atau pertentangan pendapat.
SISTEM BERBEDA DALAM DISPENSASIONALISME
Teologi Perjanjian melihat semua hubungan Tuhan dengan manusia berada di bawah salah satu dari dua perjanjian. Perjanjian Perbuatan (Perjanjian Kerja), walaupun tidak disebutkan dalam Alkitab, dimaksudkan sebagai perjanjian yang Allah adakan dengan Adam pada waktu Allah menciptakannya, yang di dalamnya Adam mempunyai kesempatan memperoleh kehidupan kekal melalui perbuatan baik. Diajarkan bahwa Adam melanggar perjanjian ini, dan bahwa ia dengan keturunannya yang telah rusak total tidak sanggup lagi memperoleh kehidupan kekal melalui pekerjaan atau perbuatan mereka. Karena itu Allah pun mengadakan Perjanjian Anugerah dengan Adam dan benihnya, sehingga apa saja yang muncul kemudian sesudah Adam sampai sekarang bahkan sampai kesudahan zaman merupakan upaya untuk membuat terlaksananya Perjanjian Anugerah tersebut. Perjanjian Musa, menurut pandangan ini bukanlah perjanjian perbuatan seperti yang Paulus kemukakan baik dalam surat Roma maupun Galatia, tetapi merupakan bagian dari Perjanjian Anugerah. Berkhof berkata, “Perjanjian Sinai pada dasarnya sama dengan yang diadakan dengan Abraham, walaupun bentuknya agak berbeda.”ll Sistem pengajaran ini menjadikan Gereja dispensasi sekarang sebagai Israel rohani; merohanikan semua janji dalam Perjanjian Lama; menolak bahwa Israel sebagai bangsa akan dibangun menjadi Kerajaan Mesianis di bumi; menolak kebenaran mengenai Milenium; dan sistem "
¹¹ Berkhof, op. cit., hal. 297.
5.
pengajaran ini sepenuhnya gagal menandai kebenaran yang ditekankan Rasul Paulus, yakni bahwa Dispensasi Anugerah Allah sekarang ini, dahulu dirahasiakan oleh Allah dan tidak pernah dinyatakan kepada anak manusia dalam berbagai abad dan keturunan yang lampau.
Sebagian besar dari mereka yang menyebut dirinya dispensasionalis mengakui adanya keunikan penyataan khusus yang diberikan kepada Rasul Paulus. Scofield, dalam kutipan yang sering digunakan pada catatan kaki Alkitab Referensinya, mengomentari penggunaan kata rahasia oleh Paulus, mengemukakan, “Penyataan rahasia ini (mengenai gereja), yang dikatakan sebelumnya tetapi tidak dijelaskan oleh Kristus (Matius 16:18), dipercayakan kepada Paulus. Dalam tulisannya saja kita menemukan pengajaran, kedudukan, cara hidup, dan masa depan gereja."12
Scofield yakin ada cukup bukti untuk membedakan tujuh cara berlainan yang berurutan, yang di dalamnya Allah berhubungan dengan manusia. Maksud ketujuh dispensasi tersebut adalah untuk menunjukkan kepada manusia kejatuhan total serta ketidakberdayaannya sama sekali untuk menyelamatkan diri sendiri. Jadi, Allah menempatkan manusia ke dalam masing-masing pengaturan yang dapat dipahami: di bawah Kesucian di taman Eden, di bawah Hati Nurani hingga air bah, di bawah Pemerintahan Manusia hingga Abraham, di bawah Perjanjian hingga Musa, di bawah Taurat hingga Kristus, di bawah Anugerah hingga kedatangan Kristus yang kedua kali, dan di bawah pemerintahan Kristus sendiri dalam Kerajaan Milenial. Setiap dispensasi tersebut dikatakan berakhir dengan kegagalan manusia, disusul hukuman dari Allah serta permulaan baru.
Kritik luas telah dilontarkan menentang skema dispensasional ini, khususnya yang ditampilkan dalam bagan dispensasi yang kelihatan seakan mengatakan bahwa prinsip yang mencirikan setiap ekonomi tersebut telah berakhir atau tidak berlaku lagi di penghujung setiap periode. Ini tentu saja tidak benar. Hati nurani tidak berakhir dengan air bah; pemerintahan manusia tidak berakhir dengan pemanggilan Abraham; perjanjian tentu saja tidak berakhir dengan pemberian Hukum Taurat, karena Paulus jelas berkata bahwa janji itu tidak dapat dibatalkan, “sehingga janji itu hilang kekuatannya" (Galatia 3:17). Fakta ini menunjukkan kepada kita bahwa dispensasi-dispensasi tersebut saling berkaitan, dan banyak prinsip yang dimasukkan ke
12 Scofield, op. cit., hal. 1252.
6.
dalam dispensasi lebih awal masih terus berlaku pada dispensasi selanjutnya.
Skema Scofield juga kemudian dikenal sebagai dispensasionalisme Kisah Para Rasul 2, karena memulai dispensasi sekarang pada hari Pentakosta dalam Kisah Para Rasul 2. Jauh lebih penting bagi kita untuk mengetahui lebih teliti dispensasi kita sekarang ini daripada dispensasidispensasi sebelumnya; itulah sebabnya penting mengetahui kapan dispensasi kita dimulai, dan itulah alasannya untuk mengelompokkan pandangan dispensasional atas dasar tersebut. Ada banyak kaum dispensasionalis yang percaya bahwa walaupun hari Pentakosta adalah hari paling penting menyangkut hubungan Allah dengan bangsa Israel, tetapi hari itu bukanlah hari bagi terbuangnya Israel, dan juga bukan permulaan dispensasi baru, dispensasi rahasia yang hingga hari itu tidak pernah dinubuatkan, yakni Gereja, Tubuh Kristus. Kalangan dispensasionalis terakhir ini masih terbagi ke dalam dua kelompok: kelompok yang satu percaya bahwa dispensasi yang baru itu telah dimulai pada sekitar pertobatan ataupun pelayanan Rasul Paulus yang kepadanya penyataan yang baru tersebut diberikan, yakni pada Kisah Para Rasul 9 ataupun 13, sedangkan kelompok lainnya percaya bahwa dispensasi baru itu telah dimulai dengan Rasul Paulus setelah Kisah Para Rasul 28. Karena sedikit sekali perbedaan praktis antara pandangan Kisah Para Rasul 9 dan Kisah Para Rasul 13, kedua pendirian tersebut biasanya secara umum dianggap sama. Mereka yang berpegang pada pendirian Kisah Para Rasul 2 senang merujuk mereka yang berpegang pada pandangan Kisah Para Rasul 13 ataupun Kisah Para Rasul 28 sebagai ekstremdispensasionalis atau ultradispensasionalis. Ryrie, yang berpegang pada pendirian Kisah Para Rasul 2, merujuk mereka yang berkeyakinan pada Kisah Para Rasul 13 sebagai Ultradispensasionalis Moderat, dan mereka yang berpegang pada pendirian Kisah Para Rasul 28 sebagai Ultradispensasionalis Ekstrem,'' walaupun ia mengakui bahwa pandangannya sendiri dipandang sebagai ultradispensasional oleh para antidispensasionalis. 14 Jadi ada empat kelompok utama dispensasionalis, yakni Teologi Perjanjian yang mengakui hanya dua dispensasi dasar dan menolak dispensasionalisme sebagai prinsip penafsiran Alkitab, serta ketiga kelompok yang mengakui prinsip ini namun memulai dispensasi rahasia itu baik pada Kisah Para Rasul 2, Kisah Para Rasul 13, ataupun Kisah Para Rasul 28.
¹³ Ryrie, op. cit., hal. 194, 195.
¹⁴ Ibid., hal. 193.
7.
PENDIRIAN DISPENSASIONAL BUKU INI
Buku ini mewakili pendirian bahwa dispensasi sekarang telah dimulai dengan Rasul Paulus sebelum ia menulis suratnya yang pertama. Inilah pendirian organisasi yang dikenal sebagai Grace Gospel Fellowship. Guna memberi alasan bagi pendirian ini, penting menunjukkan ketidakmungkinan dispensasi sekarang dimulai pada Kisah Para Rasul 2 ataupun pada Kisah Para Rasul 28. Pendirian Teologi Perjanjian akan dibicarakan lebih lengkap dalam bagian Eklesiologi. Bagian tersebut juga akan mengembangkan lebih lengkap pendirian Tengah Kisah Para Rasul dibandingkan dengan pendirian Awal Kisah Para Rasul dan pendirian Akhir Kisah Para Rasul.
Alasan Dispensasi Sekarang Tidak Dimulai pada Kisah Para Rasul 2
1. Setiap hal yang terjadi pada hari Pentakosta merupakan penggenapan nubuat Perjanjian Lama. Dapatkah hal yang sama yang telah diberitahukan kepada anak-anak manusia pada angkatan-angkatan lampau merupakan hal yang juga tidak pernah diberitahukan kepada mereka? (Kisah Para Rasul 2:16; 3:24 bandingkan Efesus 3:5, 9; Kolose 1:25, 26).
2. Tubuh Kristus sekarang ini adalah tubuh gabungan orang Yahudi dan bukan Yahudi, sedangkan pelayanan pada hari Pentakosta hingga sekitar tujuh atau delapan tahun sesudahnya ditujukan kepada orang Yahudi saja (Efesus 3:6 bandingkan Kisah Para Rasul 2:14, 22; 3:12, 25, 26; 4:8; 5:31;11:19). Jika dikatakan Allah telah memulai Tubuh Kristus secara rahasia pada hari Pentakosta, dan tidak menunjukkannya sampai Paulus tampil, haruslah dikatakan juga bahwa berita yang disampaikan pada masa di antara hari Pentakosta dan Paulus adalah berita dari para nabi, bukan dari penyataan yang disampaikan melalui Paulus.
3. Alkitab mengatakan hari Pentakosta merupakan pengantar kepada hari-hari terakhir Israel (Kisah Para Rasul 2:17). Tidak ada petunjuk sama sekali bahwa Pentakosta merupakan hari pertama dispensasi baru yang bahkan belum pernah dinubuatkan hingga saat itu.
4. Penawaran sebenarnya yang pertama kali atas kerajaan diberikan kepada Israel setelah hari Pentakosta (Kisah Para Rasul 3:19-21). Kristus sendiri mengetengahkan sangat jelas bahwa Ia harus pertama-tama menderita sebelum kemuliaan kerajaan itu muncul (Lukas 24:26 bandingkan
8.
1 Petrus 1:11). Andaikata Allah telah memulai dispensasi sekarang, sangat tidak masuk akal jika sesudah itu Ia menawarkan kembalinya Kristus bagi pembangunan kerajaan dispensasi milenial.
5. Paulus mengajarkan bahwa justru karena tersisihnya Israel sehingga pendamaian telah sampai kepada orang bukan Yahudi, yang menandai permulaan dispensasi sekarang (Roma 11:11, 12, 15). Israel belumlah tersisih pada hari Pentakosta; malahan, pemberitaan pertama ditujukan kepada mereka (Kisah Para Rasul 3:26).
(Catatan: Mereka yang berpendapat baptisan Roh Kudus merupakan bukti Tubuh Kristus dimulai pada hari Pentakosta, dirujuk pada pokok tersebut dalam bagian Eklesiologi).
Alasan Dispensasi Sekarang Tidak Dimulai Pada atau Sesudah Kisah Para Rasul 28
1. Kenyataan Israel telah jatuh atau tersisih sudah dikemukakan sebelum akhir Kisah Para Rasul. Buktinya hal tersebut sudah dikemukakan dalam surat paling awal Paulus (1 Tesalonika 2:16). Inilah sebabnya kami berpendirian seperti yang dikemukakan sebelumnya bahwa kami percaya dispensasi sekarang dimulai dengan Paulus sebelum ia menulis suratnya yang pertama. Roma 11 juga dengan jelas membicarakan jatuhnya Israel sebelum Kisah Para Rasul 28.
2. Tubuh Kristus dalam dispensasi sekarang telah disebutkan dengan begitu jelas dalam surat-surat yang ditulis Paulus pada masa Kisah Para Rasul (1 Korintus 12:13, 27; Roma 12:5).
3. Rahasia itu juga demikian, sudah dinyatakan dalam surat-surat awal Paulus (1 Korintus 2:7; 15:51; Roma 16:25).
4. Paulus dipenjarakan dalam Kisah Para Rasul 28 karena memberitakan rahasia itu (Efesus 6:19, 20). Para penganjur pandangan Kisah Para Rasul 28 mengakui bahwa Efesus, Filipi dan Kolose ditulis pada masa pemenjaraan tersebut (bandingkan Appendix 180, The Companion Bible). Dengan demikian Paulus telah memberitakan rahasia itu sebelum Kisah Para Rasul 28.
5. Injil anugerah Allah yang merupakan berita dispensasi anugerah Allah adalah pokok pemberitaan Paulus dalam Kisah Para Rasul 20:24, dan ia sama sekali bukan baru memulai pelayanan tersebut.
9.
6. Ada pekerjaan baik yang telah dimulai di antara orang-orang percaya di Filipi pada Kisah Para Rasul 16, dan setelah Kisah Para Rasul 28 orang-orang percaya yang sama ini masih membawa pekerjaan baik tersebut dalam diri mereka (Filipi 1:5, 6). Karena itu tidak mungkin telah terjadi perubahan dispensasi di antara kedua titik tersebut.
7. Hanya ada satu Tubuh Kristus, menurut Efesus 4:4, tetapi jika Tubuh Kristus dalam 1 Korintus 12:13 merupakan Tubuh yang berbeda, akan ada dua Tubuh Kristus.
8. Surat-surat Rasul Paulus sebelum ia dipenjara maupun suratsuratnya dalam penjara :
(1) Menghubungkan Satu Tubuh ini dengan Satu Roh dan Satu Baptisan (Efesus 4:4, 5; bandingkan 1 Korintus 12:13).
(2) Mengajarkan bahwa Satu Tubuh ini terdiri atas orang percaya Yahudi dan bukan Yahudi (Efesus 2:16; bandingkan 1 Korintus 12:13).
(3) Mengajarkan pendamaian orang percaya Yahudi dan bukan Yahudi atas dasar Salib (Efesus 2:14-16; bandingkan 2 Korintus 5:14-21).
(4) Menghubungkan beritanya dengan maksud Allah yang direncanakan-Nya sebelum dunia dijadikan (Efesus 1:3, 4, 9; bandingkan 1 Korintus 2:7).
Sejauh ini bahasan tentang pendirian dispensasional yang dipegang dalam buku teologi ini telah dipusatkan di sekitar waktu yang menjadi permulaan dispensasi sekarang. Para dispensasionalis umumnya sepakat bahwa dispensasi sekarang akan diakhiri dengan pangangkatan orangorang kudus seperti yang tertulis dalam 1 Tesalonika 4:13-18, tetapi kembali, ada tiga pandangan yang telah dianut menyangkut waktu pengangkatan ini: sebelum, di tengah, dan pada akhir masa tujuh tahun Kesengsaraan (Tribulasi). Pandangan yang disebutkan pertama, yakni pengangkatan Sebelum Kesengsaraan (Pratribulasi), di sini dianggap sebagai yang diajarkan Alkitab, yang sesudahnya Allah akan kembali menegakkan hubungan-Nya dengan Israel yang bersifat telah dinubuatkan itu. Setelah masa Tribulasi, diyakini Kristus akan kembali ke bumi untuk mendirikan kerajaan milenial-Nya. Setelah kerajaan milenial akan ada pemberontakan singkat, diakhiri kebangkitan dan penghakiman terakhir. Pokok-pokok tersebut akan dibicarakan selengkapnya dalam Eskatologi.
10.
Menyangkut hal-hal lainnya buku ini secara umum dapat dikatakan sejalan dengan pandangan tujuh dispensasi yang sudah diterima luas. Penting diperhatikan bahwa dispensasi Kesucian, Hati Nurani, Pemerintahan Manusia, Perjanjian, Hukum Taurat dan Kerajaan, semuanya berkaitan erat dengan rencana Allah yang diungkapkan untuk mendirikan kerajaan di bumi. Adapun dispensasi Anugerah sekarang ini berkaitan dengan rencana Allah bagi Tubuh Kristus di surga. Jadi akan terlihat bahwa perbedaan utama antara dispensasionalisme buku ini dengan sistem Scofield yang umum dianut, terletak pada waktu bagi permulaan dispensasi sekarang serta bagi penyisihan Israel.
2. HUBUNGAN
DISPENSASIONALISME
DENGAN TEOLOGI
Teologi dalam arti luas kata tersebut adalah studi, bukan hanya tentang Allah, tetapi juga tentang semua karya-Nya. Karya-karya Allah biasanya dikenali melalui pengaruhnya pada manusia dan hubungan manusia dengan Allah. Jika Allah telah berhubungan dengan manusia dengan cara yang berbeda pada berbagai zaman di sepanjang sejarah, tampaknya perbedaan tersebut menjadi begitu penting dalam merumuskan teologi yang benar. Bukan saja dispensasi akan diperhatikan sebagai salah satu ajaran Alkitab, tetapi juga akan diupayakan untuk melihat dan memahami hubungan dispensasional yang secara khusus dimiliki manusia dengan Allah pada setiap periode sejarah yang diamati.
Untuk membangun hubungan antara dispensasionalisme dan Teologi haruslah ditunjukkan bahwa Allah telah berhubungan dengan manusia secara berbeda pada periode yang berlainan dalam sejarah. Beberapa rujukan telah dibuat bagi kenyataan tersebut, tetapi dalam arti bagaimana Allah telah berhubungan secara berbeda? Ketika kita mengatakan Allah telah berhubungan secara berbeda dengan Musa dibanding dengan Nuh, apakah kita maksudkan la telah memberikan kepada Musa cara yang berbeda untuk diselamatkan dibanding dengan yang diberikan-Nya kepada Nuh? Apakah Habel diselamatkan dengan cara menaati hati nuraninya? Apakah Musa atau Daud diselamatkan karena memelihara Sepuluh Hukum? Apakah para rasul
11.
diselamatkan karena menerapkan Khotbah di bukit dalam hidup mereka? Dengan mengatakan manusia berada di bawah berbagai ujian dalam masa berlangsungnya dispensasi, apakah maksud kami manusia masih berada di bawah ujian? Permasalahan di atas telah dikemukakan karena terbukti banyak penentang dispensasionalisme yang beranggapan itulah yang diajarkan para dispensasionalis. Berkhof, misalnya, mengatakan,
Menurut yang biasanya mewakili
teori
ini manusia terus-menerus berada
dalam ujian. Ia gagal pada ujian
pertama sehingga tidak
mendapatkan
upah kehidupan kekal, tetapi Allah
mengasihani dan dalam kemurahan
memberinya ujian baru. Kegagalan
berulang-ulang menuntun kepada
berulang-ulangnya perwujudan
kemurahan Allah dalam
memperkenalkan ujian baru, yang
tentu
membuat manusia terus berada
dalam
ujian. Ini tidak sama dengan
mengatakan bahwa Allah dalam
keadilan menjaga manusia alamiah
berada dalam situasi perjanjian
kerja—yang sepenuhnya
benar-tetapi
bahwa Allah dalam kemurahan dan
pengasihan dan karena itu
kelihatannya
menyelamatkanmemberi
manusia kesempatan demi
kesempatan untuk menghadapi
situasi
berbeda, dan dengan demikian
mendapatkan kehidupan kekal
karena
menunjukkan ketaatan kepada
Allah.¹
Dr. Berkhof adalah salah satu dari sangat sedikit ahli teologi yang telah berusaha bahkan membahas pokok mengenai dispensasionalisme, dan terbukti dari kutipan di atas bahwa jika bukan telah membaca dari beberapa penganut dispensasionalisme yang secara serius berada dalam kekeliruan, tentu ia sendirilah yang telah gagal memahami apa yang dikatakan para dispensasionalis. Memang banyak dispensasionalis yang telah ke luar jalur; yang ingin dijelaskan adalah bahwa yang dikatakan Berkhof itulah yang justru tidak dipercayai para dispensasionalis. Buktinya, Berkhof mengutip Bullinger, yang banyak dikenal ekstrem dalam pandangan dispensasionalnya, “Kemudian anusia ber (dalam dispensasi pertama) pada apa yang disebut 'di bawah ujian.' Ini memberi batas bagi Administrasi tersebut secara tajam dan tegas; karena sekarang ini manusia tidak berada di bawah ujian. Menganggapnya demikian merupakan kekeliruan yang sudah populer yang menyerang ke akar ajaran anugerah. Manusia telah dicoba dan diuji, dan telah terbukti bobrok.”² Ryrie mengutip sejumlah dispensasionalis yang sudah dikenal luas yang mengemukakan hal serupa.³ Kutipan dari Pettingill barangkali 2
¹Louis Berkhof, Systematic Theology (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Co., 1941), hal. 291.
² Ibid, hal. 291.
³ Charles Caldwell Ryrie, Dispensationalism Today (Chicago: Moody Press, 1965), hal. 113-115.
12.
mengetengahkan pokoknya sejelas yang ingin dikemukakan: “Keselamatan selalu, sebagaimana sekarang ini, murni pemberian Allah sebagai respons terhadap iman. Ujian dispensasional berfungsi menunjukkan ketidakberdayaan sama sekali manusia, guna menuntunnya kepada iman, agar dapat diselamatkan oleh anugerah melalui iman tanpa tambahan apa pun”.⁴ Dengan melihat beberapa pernyataan gamblang tersebut, sulit dimengerti bagaimana atau mengapa sehingga Berkhof dan para ahli Teologi Perjanjian terus saja melontarkan tuduhan serupa.
Sebenarnya justru Teologi Perjanjian yang mengajarkan dua cara untuk selamat. Diajarkan bahwa Allah membuat Perjanjian Kerja dengan Adam sebelum ia jatuh; melalui Perjanjian Kerja tersebut Adam dapat memperoleh kehidupan kekal dengan perbuatannya sendiri. Setelah Adam jatuh, tidak memungkinkan lagi baginya memperoleh kehidupan kekal dengan perbuatan; karena itu Allah membuat Perjanjian Anugerah dengannya, dan kepada kita dikatakan bahwa sejak itu hingga sekarang setiap orang diselamatkan dengan cara memercayai berita injil yang sama.
Yang dinamakan Perjanjian Kerja ini, yang menjadi konsep dasar Teologi Perjanjian, tidak ditemukan dalam Alkitab. Berkhof mengakui “benar sekali bahwa tidak ada janji demikian yang tercatat secara eksplisit,” dan “benar sekali bahwa Alkitab tidak memiliki janji eksplisit tentang kehidupan kekal kepada Adam.”⁵ Cocceius dan Turretin yang membuat ajaran ini pada abad ketujuh belas dan sejak itu ajaran ini telah menjadi dogma badan-badan Reformed. Memang benar ketaatan Adam diuji oleh perintah, “janganlah kaumakan buahnya” (Kejadian 2:17), tetapi tidak ada petunjuk bahwa Adam harus mengusahakan kehidupan kekal. la diciptakan memiliki kehidupan. Ia tidak diciptakan dalam keadaan terhilang sehingga perlu mendapatkan kehidupan. Ia sudah memiliki kehidupan sebagai pemberian Allah, tetapi keberlangsungannya dalam kehidupan tersebut bergantung kepada ketaatannya kepada Allah.
Tidak diragukan Alkitab mengakui adanya cara potensial untuk selamat melalui perbuatan, tetapi sama benarnya juga bahwa tidak seorang pun yang sanggup mencapai keselamatan dengan cara itu. Dalam Roma 2 Paulus berargumen tentang keadilan hukuman Allah. Ia berkata, “Ia akan membalas setiap orang menurut perbuatannya, yaitu hidup kekal kepada mereka yang dengan tekun berbuat baik, mencari
⁴ Ibid., hal. 114, 115.
⁵ Berkhof, op. cit., hal. 213, 216.
13.
kemuliaan, kehormatan dan ketidakbinasaan” (ayat 6, 7). Tetapi pada pasal berikutnya ia membuktikan bahwa tidak ada orang Yahudi ataupun bukan Yahudi yang dari sifat dasar(natur)nya mencari Allah: “Seperti ada tertulis: “Tidak ada yang benar, seorang pun tidak. Tidak ada seorang pun yang berakal budi, tidak ada seorang pun yang mencari Allah. Semua orang telah menyeleweng, mereka semua tidak berguna, tidak ada yang berbuat baik, seorang pun tidak” (Roma 3:10-12). Jadi cara tersebut hanya cara potensial untuk selamat: kejatuhan sepenuhnya manusia menjadikan keselamatan sebagai sesuatu yang tidak mungkin dicapai. Para dispensasionalis tidak mengajarkan bahwa Allah memiliki cara berbeda untuk menyelamatkan manusia pada dispensasi berbeda, dan tentu saja tidak mengajarkan bahwa Allah telah bereksperimen dalam berbagai dispensasi untuk melihat apakah manusia dapat menyelamatkan diri sendiri melalui cara yang satu atau yang lain. Yang diajarkan para dispensasionalis adalah bahwa manusia dalam berbagai dispensasi telah dipanggil untuk mewujudkan imannya dengan berbagai cara berbeda. Allah tidak meminta Habel, atau Nuh, atau Abraham, atau Musa, atau Daud untuk percaya terhadap berita yang sama yang dikatakan Paulus kepada kepala penjara di Filipi, “Percayalah kepada Tuhan Yesus Kristus dan engkau akan selamat, engkau dan seisi rumahmu.” Orang-orang tersebut telah percaya terhadap berita yang Allah berikan kepada masingmasingnya dan mereka diselamatkan atas dasar iman.
Kiranya semua mengakui bahwa pada masa lampau manusia diterima atau ditolak di hadapan Allah berdasarkan korban yang mereka persembahkan. Korban tumbuh-tumbuhan Kain ditolak karena tidak dipersembahkan berdasarkan iman. Lalu, apakah manusia pada zaman itu diselamatkan oleh korban binatang? Apa artinya korban bagi keselamatan mereka? Jika manusia diselamatkan karena anugerah melalui iman terlepas dari upacara mana pun, seperti sekarang ini, apa maksudnya mempersembahkan korban binatang? Mungkinkah ada orang yang menolak mempersembahkan korban yang Allah tetapkan, namun diselamatkan? Karena melanggar salah satu hukum sama dengan melanggar keseluruhannya (Yakobus 2:10), dan karena setiap orang yang melanggar hukum berada di bawah kutuk (Galatia 3:10), serta karena setiap orang Israel telah bersalah dengan setidaknya melanggar salah satu hukum, setiap orang Israel pastilah telah berada di bawah kutuk. Dapatkah seseorang yang berada di bawah kutuk diselamatkan? Jika ya, bagaimana caranya?
14.
Jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut serta yang semacamnya sulit dan rumit, karena beberapa alasan. Ketika seseorang membaca mengenai keselamatan dan hal diselamatkan dalam Perjanjian Lama dan bahkan dalam kitab-kitab Injil, ia menemukan keselamatan itu biasanya merupakan keselamatan dari musuh jasmaniah, penyakit, atau kematian. Ketika Petrus berseru, “Tuhan, tolonglah aku” (Matius 14:30; KIV: Lord, save me, Tuhan selamatkan aku), tidak terlintas dalam pikirannya mengenai keselamatan dari dosa: ia sedang terperosok ke dalam air dan memohon diselamatkan agar tidak mati tenggelam. Ketika ayah Yohanes Pembaptis bernubuat, penekanannya adalah pada sisi jasmaniah keselamatan. Ia menyatakan bahwa Allah “menumbuhkan sebuah tanduk keselamatan bagi kita di dalam keturunan Daud, hamba-Nya itu, seperti yang telah difirmankan-Nya sejak purbakala oleh mulut nabi-nabi-Nya yang kudus untuk melepaskan kita dari musuh-musuh kita dan dari tangan semua orang yang membenci kita ...” (Lukas 1:69-71). Ketika Yonatan berbicara mengenai “kemenangan yang besar” (KJV: great salvation, keselamatan besar) yang telah Tuhan berikan bagi seluruh Israel (1 Samuel 19:5), ia menunjuk kepada Daud yang menewaskan Goliat. Juga, Perjanjian Lama tidak mengajukan pertanyaan, “Apa yang harus aku lakukan supaya diselamatkan?” Dan jawaban jelasnya juga tidak diberikan. Hal ketiga yang membuat masalahnya semakin rumit adalah fakta bahwa dalam perjanjian Lama, Allah berurusan dengan Israel sebagai bangsa dan juga dengan perorangan dalam bangsa itu. Sebagian dari upacara yang ada merupakan pekerjaan bersama bagi keseluruhan bangsa Israel, misalnya korban perjanjian agung dalam Keluaran 24:1-8 dan korban-korban pada hari penebusan tahunan dalam Imamat 16:5-22; korban-korban lainnya dipersembahkan perorangan. Apa faedah korban yang dipersembahkan secara nasional bagi keselamatan pribadi, jika ada, dan apakah ada keuntungan yang diperoleh dari seorang Yahudi bersunat dibanding seorang bukan Yahudi yang tidak bersunat?
Diharapkan sebagian besar pertanyaan tersebut terjawab secara memuaskan dalam bahasan tentang Soteriologi; yang telah sejauh ini dikemukakan dimaksudkan untuk menunjukkan pentingnya memandang ajaran tersebut secara dispensasional guna memahaminya dengan benar. Dan jika hal itu berlaku bagi ajaran tentang keselamatan, tentu pada praktiknya berlaku juga bagi ajaran utama lainnya Alkitab.
Sebagai kesimpulan harus dikatakan bahwa kebenaran dispensasional lebih banyak berhubungan dengan rancangan (program) keagamaan
15.
atau program rohaniah bagi umat Allah dibanding hubungannya dengan keselamatan dasar. Banyak pertanyaan praktis dapat diajukan menyangkut program Allah bagi gereja sekarang ini di bawah terang semua yang telah Allah perintahkan di semua abad. Sebagai contoh, haruskah gereja sekarang membuat kemah suci atau bait Allah? Haruskah gereja sekarang menyalakan lilin ataupun membakar kemenyan? Haruskah gereja sekarang memiliki hari yang dikuduskan dan mengadakan perayaan bulan baru? Haruskah juga gereja sekarang menyembuhkan orang sakit, menahirkan orang kusta, dan membangkitkan orang mati? Haruskah para pengkhotbah gereja sekarang berjalan berdua-dua, tanpa membawa emas, perak, ataupun tembaga dalam saku, tanpa bekal dalam perjalanan, tanpa dua helai baju, tanpa sepatu ataupun tongkat? Haruskah anggota gereja sekarang berbahasa lidah? Haruskah gereja sekarang membaptis untuk pengampunan dosa? Haruskah anggota gereja hanya makan buah-buahan dan sayur-sayuran saja? Haruskah mereka menaati larangan mengenai makanan dalam Imamat 11, atau dapatkah mereka makan daging babi, kelinci, dan ikan yang berkulit seperti belut? Haruskah mereka berbakti pada hari Sabat, atau hari Minggu? Haruskah mereka menjual semua harta mereka dan memiliki bersama apa yang ada? Semua hal tersebut pada suatu waktu atau pada waktu yang lain telah menjadi bagian dari program Allah bagi umat-Nya. Berdasarkan asas apa kiranya dapat diputuskan yang mana saja dari yang di atas itu, jika ada, yang dapat dimasukkan ke dalam program gereja sekarang ini, apabila bukan berdasarkan asas dispensasional?
Kata-kata Dr. Chafer membentuk kesimpulan yang sesuai bagi bab mengenai kaitan antara dispensasionalisme dengan Teologi ini :
Program Allah sama pentingnya bagi
ahli teologi seperti cetak biru bagi
konstruktor bangunan atau peta bagi
pelaut. Tanpa pengetahuan mengenai
hal itu si pemberita akan
terombang-ambing tanpa arah dalam
ajaran dan gagal besar dalam
usahanya untuk mengharmonisasikan
dan memberdayakan ayatayat
Alkitab. Pastilah orang berpikiran
rohani yang tidak memahami program
Ilahi yang akan melihat suatu
kebenaran rohani tersendiri, mirip
dengan seseorang yang menikmati
suatu titik berwarna ganjil pada
sebuah lukisan tanpa memerhatikan l
ukisan itu sendiri, atau memerhatikan
sumbangan khusus yang telah
diberikan titik itu bagi keseluruhan
lukisan tersebut.
Walaupun penting sebagai salah satu segi yang menjadi syarat untuk ajaran, Teologi Sistematika yang umum disajikan dalam buku pelajaran tidak memiliki pengenalan program lahi masa ke masa."
⁶ L. S. Chafer, Systematic Theology (Dallas: Dallas Seminary Press, 1947), 1, hal
xiii.
16.
3. MENGAPA TEOLOGI?
Barangkali ada yang mengajukan pertanyaan, mengapa belajar teologi? Bukankah Alkitab sendiri sudah merupakan penuntun yang memadai bagi orang percaya? Bukankah teologi hanya ide dan hasil pemikiran manusia, sedangkan Alkitab itu penyataan suci Allah? Apa yang dapat diajarkan teologi yang tidak dapat diajarkan Alkitab kepada kita? Pertanyaan-pertanyaan tersebut dan yang semacam itu masuk akal dan patut dijawab.
1. Pertama-tama, teologi bukanlah pengganti Alkitab. Pada prinsipnya Teologi Kristen yang benar disusun berdasarkan ajaran Alkitab. Penguasaan tertentu terhadap Alkitab adalah prasyarat untuk studi teologi. Teologi dalam arti sempitnya merupakan ilmu pengetahuan atau studi tentang Allah. Dalam arti luasnya teologi mencakup studi, bukan hanya tentang Allah, tetapi tentang semua hubungan yang ada antara Allah dan alam semesta milik-Nya. Teologi dapat dipandang sebagai penyistematisan ajaran Alkitab.
2. Alkitab bukanlah buku pelajaran atau ensiklopedia. Alkitab adalah buku yang di dalamnya terdapat banyak fakta yang dapat diumpamakan dengan bahan bangunan suatu rumah. Tumpukan batu bata dan kayu serta perangkat keras lainnya mungkin saja telah mencakup setiap hal penting untuk membangun sebuah rumah, tetapi semua itu tidak dapat dikatakan sebagai sebuah rumah sampai setiap bahan tersebut terpasang sesuai perencanaan. Maksudnya bukanlah bahwa Alkitab merupakan tumpukan pernyataan kacau-balau yang tidak saling bertautan satu sama lain. Batu bata, kayu, dan berbagai perangkat keras tersebut dapat saja sudah ditumpukkan ke dalam susunan yang sangat teratur sebelum dirangkaikan. Yang ingin dikatakan adalah bahwa bahan Alkitab dihasilkan dalam masa lebih dari lima belas abad. Hal tersebut memunculkan keharusan untuk menjelajahi Alkitab berulang-ulang guna memastikan semua yang ingin diutarakannya tentang setiap pokok yang dibicarakannya. Informasi yang sudah disusun menurut kelompoknya selalu lebih berguna daripada yang saling terpisah dan berdiri sendiri-sendiri. Manusia sudah mengetahui fakta mengenai listrik dan magnet selama ribuan tahun, tetapi nanti setelah ia menyusun ilmu pengetahuan mengenai hal tersebut barulah ia dapat belajar memanfaatkannya secara maksimal. Alkitab menyatakan banyak fakta mengenai Allah, manusia, dosa, dan banyak hal lainnya dari Kejadian sampai Wahyu. Dengan menyusun,
17.
mengelompokkan, dan menarik kesimpulan dari kebenaran-kebenaran tersebut pengetahuan kita menjadi jauh meningkat.
3. Pengetahuan yang tidak lengkap, seperti kebenaran yang tidak lengkap, dapat menjadi sangat berbahaya. Ucapan Pope, “Tahu sedikit itu membahayakan” barangkali baik diterapkan di sini. Sedikit sekali orang yang mau berserah kepada seorang ahli bedah yang miskin pengetahuan dalam ilmu fisiologi atau ilmu pengetahuan lainnya yang mendasar bagi praktik bedah. Orang yang menangani Alkitab berhubungan dengan situasi hidup dan mati yang bahkan jauh lebih penting daripada yang dihadapi seorang ahli bedah. Di sini, terbatasnya pengetahuan dapat menuntun kepada keterhilangan kekal.
4. Sifat dispensasional Alkitab memunculkan banyak hal yang kelihatan saling bertentangan yang hanya dapat dipecahkan oleh studi sistematis. Misalnya, Alkitab pada suatu bagian membatasi makanan manusia hanya pada buah-buahan dan sayur-sayuran; pada bagian lain Alkitab membenarkan makan apa saja yang hidup dan bergerak; dan pada bagian lain lagi membatasi jenis daging yang boleh dimakan. Pada suatu bagian Alkitab memerintahkan penyunatan dengan peringatan bahwa pria yang tidak disunat akan dikeluarkan dari umat Allah; pada bagian lain dikatakan apabila orang menyunatkan diri, Kristus akan menjadi tidak berarti. Pada suatu bagian para pemberita diminta hanya pergi kepada domba yang terhilang dari umat Israel; pada bagian yang lain mereka diperintahkan untuk pergi kepada semua umat manusia tanpa pembedaan. Semua hal ini serta banyak hal lainnya yang kelihatan saling bertentangan serta seakan tidak konsisten dapat dijelaskan melalui penafsiran sistematis dan dispensasional terhadap Alkitab.
5. Sifat penyataan yang berkembang secara bertahap (progresif) dalam Alkitab memunculkan keharusan terhadap studi sistematis atas setiap ajarannya. Perjanjian Lama memberi penekanan pada keesaan Allah: “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa” (Ulangan 6:4). Perjanjian Baru mengakui tiga sebagai Allah: Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Pengutaraan tersebut tidak saling bertentangan. Perjanjian Baru adalah penyataan lebih lengkap tentang Allah Yang Esa yang berkeberadaan dalam tiga Pribadi berbeda.
6. Kelihatannya Allah telah membentuk pikiran manusia sedemikian rupa sehingga pikiran manusia tidak mau berhenti sebelum berhasil mengharmonisasikan dan menyistematiskan fakta pengetahuan yang
18.
dimilikinya. Mungkin ada orang yang mengatakan tidak membutuhkan Teologi; ia mengatakan telah memiliki pengetahuan yang saksama akan Alkitab, telah membaca Alkitab berulang kali dan telah menemukan semua yang ingin dikatakan Alkitab tentang Allah, manusia, dosa, dan keselamatan, tetapi tanpa disadarinya sejauh itu ia telah terlibat dalam penyusunan suatu Teologi. Strong mengutip Richie, “Orang-orang yang menyangkal metafisika kadang kala lebih cenderung terjangkit penyakit yang mereka nyatakan benci—dan tidak mengetahui kapan mereka mulai mengidapnya.”
7. Alkitab memberi dorongan bagi studi yang saksama dan sistematis terhadap kebenaran. Orang-orang Berea dipuji karena menyelidiki Kitab Suci setiap hari untuk mengetahui apakah hal-hal yang telah mereka dengar memang benar demikian (Kisah Para Rasul 17:11). Yesus berkata kepada orang-orang Yahudi supaya menyelidiki Kitab Suci (Yohanes 5:39; KJV: Search the Scriptures . Selidikilah Kitab Suci ...). Paulus meminta kita membandingkan perkara rohani dengan yang rohani (1 Korintus 2:13; KJV: ... comparing spiritual things with spiritual). Paulus berkata kepada Timotius, “Sementara itu, sampai aku datang bertekunlah dalam membaca Kitab-kitab Suci, dalam membangun dan dalam mengajar .... Perhatikanlah semuanya itu, hiduplah di dalamnya supaya kemajuanmu nyata kepada semua orang. Awasilah dirimu sendiri dan awasilah ajaranmu. Bertekunlah dalam semuanya itu, karena dengan berbuat demikian engkau akan menyelamatkan dirimu dan semua orang yang mendengar engkau” (1 Timotius 4:13, 15, 16). Timotius diamanatkan menjadi guru sebagaimana ia menjadi pemberita Firman. Seorang Guru Firman haruslah memahami ajaran Firman.
8. Terakhir, Alkitab berbicara tentang menjadi dewasa dalam kebenaran. Pelayanan khusus para gembala-pengajar adalah “untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pemba-ngunan tubuh Kristus, sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus, sehingga kita bukan lagi anak-anak, yang diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran, oleh permainan palsu manusia dalam kelicikan mereka yang menyesatkan” (Efesus 4:12-14). Orang yang tidak benar-benar berakar pada ajaran-ajaran utama Alkitab adalah sasaran
¹A. H. Strong, Systematic Theology (Philadelphia: The Judson Press, 1912), hal. 16.
19.
empuk aliran keagamaan sesat. Seseorang haruslah memahami apa yang ia percayai dan mengapa ia memercayainya, dan ini membutuhkan lebih dari sekadar mengutip ayat Alkitab secara terpisah-pisah.
Walaupun sudah dikemukakan di atas bahwa Alkitab bukanlah buku pelajaran teologi, harus juga dikemukakan bahwa ada bagianbagiannya, khususnya dalam surat-surat Paulus, yang berdiri sebagai risalah teologis. Misalnya, lima pasal pertama surat Roma mengulas cukup lengkap ajaran tentang pembenaran oleh iman. Pada pasal-pasal tersebut Paulus melihat ke belakang dan mengumpulkan fakta penyataan mulai dari Abraham, Musa, dan Daud hingga masa Paulus, dan dari fakta tersebut ia menarik kesimpulan, “Karena kami yakin (KJV: therefore we conclude, karena itu kami menyimpulkan), bahwa manusia dibenarkan karena iman, dan bukan karena ia melakukan hukum Taurat” (Roma 3:28). Pertanyaan Paulus, “apakah dikatakan nas Kitab Suci?” (Roma 4:3) adalah dasar bagi perumusan ajaran, dan fakta bahwa Paulus sendiri merumuskan ajaran merupakan pemberian wewenang yang lebih jauh lagi bagi praktik demikian yang kita lakukan.
KEBERATAN TERHADAP TEOLOGI
Thiessen mengutip Orr,
Setiap orang harus menyadari
bahwa
pada masa sekarang ada prasangka
luas melawan ajaran-atau yang sering
disebut “dogma”-dalam keagamaan;
kesangsian dan ketidaksukaan luar
biasa terhadap pemikiran terang dan
sistematis mengenai hal-hal Ilahi.
Karena itu, mau tidak mau orang lebih
condong untuk hidup dalam wilayah
ketidakjelasan dan ketidakpastian.
Mereka menginginkan pikiran mereka
berubah-ubah dan tidak pasti yang
dapat berubah oleh waktu, dan oleh
terang baru yang mereka pikir akan
secara tetap diarahkan ke atasnya;
terus-menerus mengambil bentuk
baru,
dan meninggalkan yang lama di
belakang.?
Keberatan utama dari suatu sisi adalah bahwa apa yang disebut pengetahuan mengenai Allah itu murni subjektif, dan karena itu relatif serta tidak cukup berwenang. Alkitab ditolak sebagai penyataan yang berwenang, karena itu dikatakan bahwa teologi tidak memiliki dasar yang jelas. Dari sisi lain muncul keberatan yang mengatakan bahwa daripada bersifat ilham, membangun kehidupan beribadah dan praktis, teologi itu
2 Henry C. Thiessen, Systematic Theology (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Co., 1951), hal. 23.
20.
bersifat teori, akal budi, dan formal. Paulus dikutip sebagai menyokong tuduhan tersebut: “sebab hukum yang tertulis mematikan, tetapi Roh menghidupkan” (2 Korintus 3:6), seakan-akan yang Paulus maksudkan dengan hukum itu adalah pengajaran doktrinal! Ajaran dapat saja didiskusikan secara dingin dan tidak rohani, tetapi itu bukanlah kesalahan ajaran tersebut, melainkan orang yang terlibat di dalamnya. Di pihak lain, emosionalisme tanpa ajaran dapat menimbulkan fanatisme. Strong berkata bahwa kurangnya pengetahuan adalah ibu takhayul, bukan ibu peribadahan, dan ia mengutip Talbot W. Chambers, “Ajaran tanpa tugas laksana pohon tanpa buah; tugas tanpa ajaran laksana pohon tanpa akar."} Apa saja yang dinyatakan sebagai ajaran Alkitab tetapi tidak rohani dan tidak dapat dipraktikkan, jika bukan merupakan kekeliruan, tentu mewakili induksi sangat tidak lengkap terhadap fakta yang ada.
Allah tidak menyediakan upah bagi kebodohan. Karena kebodohan dalam hal ajaran Alkitab banyak orang telah keliru menyangka emosi sebagai rohani, kesombongan sebagai keberbedaan, dan kegiatan keagamaan sebagai pelayanan. Di seluruh bagian Alkitab, manfaat pengetahuan selalu ditekankan. Meskipun kita bukan diselamatkan oleh pengetahuan, haruslah diingat bahwa untuk diselamatkan kita pertamatama harus memiliki pengetahuan akan dosa dan akibatnya serta pengetahuan tentang memadainya karya penebusan Kristus, dan hal tersebut merupakan langkah awal Teologi.
Orang Kristen tentu saja harus selalu waspada terhadap setiap hal yang dapat melemahkan kehidupan rohaninya, namun ia harus benarbenar sadar bahwa tidak ada yang lebih cocok untuk mendewasakan dan memperkuat kehidupan rohaninya daripada studi dan pemahaman doktrinal yang benar terhadap Firman Allah. Kesaksian Kristen yang paling menunjukkan keberanian telah datang dari mereka yang mapan dalam ajaran. Thiessen membuat pengamatan berikut:
Khotbah oratoris, tekstual, atau topikal, mungkin saja membuat sidang jemaat tertaut kepada pengkhotbahnya; tetapi ketika pengkhotbah itu pergi orang juga pergi. Joseph Parker dan T. DeWitt Talmadge barangkali dicatat sebagai orang-orang yang memiliki kemampuan berkhotbah luar biasa yang membangun jemaat-jemaat besar melalui khotbah mereka; tetapi City Temple di London jatuh ke tangan R. J. Campbell, penemu New Theology, segera setelah Parker meninggal, serta Brooklyn Tabernacle ke tangan Charles T. Russell dan Watchtower Bible and Tract Society."
³ Strong, op. cit., hal. 17.
⁴ Thiessen, op. cit., hal. 29, 30.
21.
Chafer mengingatkan kita, “Walaupun benar Alkitab adalah sumber bahan yang digunakan dalam Teologi Sistematika, sama benarnya juga bahwa fungsi Teologi Sistematika adalah untuk mengungkap Alkitab,” dan ia meminta studi teologi “lengkap” bagi calon pelayan, hanya karena sebagian dari apa saja tidak pernah sama dengan keseluruhannya.
⁵ L. S. Chafer, Systematic Theology (Dallas: Dallas Seminary Press, 1947), hal. viii.
⁶ Ibid., hal. xi.
4 SUMBER DAN PEMBIDANGAN
TEOLOGI
SUMBER TEOLOGI
Pengetahuan manusia berasal dari empat sumber utama: intuisi, tradisi, ilmu pengetahuan, dan penyataan. Teologi memberdayakan pengetahuan dari keempat sumber tersebut, walaupun penyataan merupakan sumber utama dan satu-satunya yang berwenang.
1. INTUISI: Intuisi dapat kita katakan sebagai pengetahuan langsung. Maksudnya bukan bahwa manusia telah lahir dengan susunan fakta yang sudah tertanam dalam pikiran, yang diketahui tanpa pengalaman, tetapi semacam pengetahuan yang harus diasumsikan, yang memungkinkan bagi setiap pengamatan ataupun pemikiran.
Strong mengelompokkan kebenaran
awal di bawah tiga pokok:
(1) intuisi hubungan, seperti antara
jagat raya dengan waktu; (2) intuisi
prinsip, seperti zat, penyebab,
penyebab akhir, kebenaran; dan (3)
intuisi Keberadaan, Kuasa, Pikiran,
Kesempurnaan, Kepribadian, yang
absolut, seperti Allah.
Dan ia meneruskan,
“Kami menganggap bahwa, pada
saat indra menyadari (a) sesuatu yang
besar, (b) urutan peristiwa, (c) ciri-ciri,
(d) perubahan, (e) susunan, (f)
tindakan, dalam urutan itu pikiran
menyadari (a) ruang, (b) waktu, (c)
materi, (d) penyebab, (e) rancangan,
(f) keharusan, jadi pada saat kita
menyadari keterbatasan,
ketergantungan dan kewajiban kita,
pikiran secara langsung menyadari
keberadaan suatu Wewenang,
Kesempurnaan, Pribadi, yang Tidak
22.
Terbatas dan Mutlak, yang kepadanya
kita bergantung dan yang kepadanya
kita bertanggung jawab.'
2. TRADISI: Dalam konteks ini yang dimaksudkan dengan tradisi adalah semua pengetahuan yang diteruskan kepada kita yang secara pribadi tidak kita alami. Semua pengetahuan kita mengenai masa lalu masuk ke dalam kategori ini. Dengan pengertian ini, bahkan penyataan yang terdapat dalam Alkitab dan diteruskan kepada kita disebut tradisi (lihat 1 Korintus 11:2; TB: ajaran; American Standard Version, disingkat ASV: tradition). Sebagian besar yang kita baca dari koran dan dengar dari radio harus juga dimasukkan ke dalam kelompok ini. Pastilah sebagian besar pengetahuan kita telah diteruskan kepada kita dengan cara ini dan kita menerima atau menolaknya berdasarkan kekuatan bukti yang menyertainya.
3. ILMU PENGETAHUAN: Dengan ilmu pengetahuan dimaksudkan bukan hanya pengetahuan yang diperoleh melalui berbagai disiplin, tetapi semua pengetahuan yang kita dapatkan melalui pengalaman pribadi. Tradisi dapat dianggap pengetahuan tangan kedua; pengalaman merupakan tangan pertama. Seorang pelajar mungkin mempelajari dari buku pelajaran bahwa air terbentuk dari dua atom hidrogen dan satu atom oksigen. Ini pengetahuan akurat, walaupun bersifat tangan kedua. Tetapi ketika ia masuk ke laboratorium dan menguraikan air dengan elektrolisis, mengadakan pengukuran serta mengenali gas yang dihasilkan, pengetahuan tersebut menjadi tangan pertama dan bersifat pribadi. Pengetahuan demikian memberi keyakinan lebih kuat atas suatu kebenaran.
4. PENYATAAN: Dengan penyataan dimaksudkan tindakan khusus Allah yang melalui cara tersebut la membuat manusia mengetahui kebenaran yang tidak dapat diketahui tanpa cara itu. Sebagai contoh, tidak ada seorang pun hadir dan menyaksikan penciptaan dunia. Karena itu, cara terbaik manusia untuk mengetahuinya hanyalah berspekulasi tentang caranya dunia muncul. Dengan segala kecakapan menyelidiki dan pengetahuannya, manusia tidak akan pernah mengetahui jika ia telah memiliki jawaban yang benar. Melalui penyataan, Alkitab memberitahu caranya Allah menciptakan segala sesuatu pada mulanya. Walaupun pengetahuan berdasarkan pengalaman kelihatan sebagai jenis yang paling meyakinkan, hanyalah penyataan yang menjamin kebenaran mutlak. Di luar penyataan bisa saja terdapat kebenaran mutlak, tetapi manusia tidak mengetahui secara mutlak jika hal itu memang kebenaran mutlak. Yang harus diingat,
¹ A. H. Strong, Systematic Theology (Philadelphia: The Judson Press, 1907), hal. 52.
23.
walaupun Alkitab mengetengahkan kebenaran mutlak, pengertian dan penguasaan kita terhadap keseluruhannya tidaklah lengkap dan bersifat relatif; jika sudah lengkap tidak ada perlunya lagi dipelajari.
Semua pengetahuan yang bersumber dari tradisi dan pengalaman adalah relatif, terbatas, dan tidak pasti. Teori ilmu pengetahuan terusmenerus berubah. Fakta baru selalu saja ditemukan dan mengubah pengetahuan kita. Bahkan indra kita tidak selalu dapat diandalkan. Dalam kondisi tertentu garis lurus kelihatan seakan melengkung; benda berubah warna di bawah cahaya dengan muatan spektrum berbeda; aplikasi panas dapat dirasakan sebagai dingin; dan siapa yang tidak merasa frustrasi menjaga keseimbangan badan ketika memasuki “rumah miring,” rumah yang sengaja dirancang untuk menimbulkan segala tipuan pandangan.
Kami percaya bahwa jika Allah menghendaki menyatakan kebenaran-Nya kepada manusia, Ia sanggup melakukannya dengan cara yang melaluinya kebenaran itu dapat dikomunikasikan tanpa salah, yakni cara yang tidak terhalang oleh keterbatasan dan kekurangan pada natur manusia, sehingga manusia memperoleh catatan yang objektif, dapat dipercaya, dan tidak mungkin salah. Maksud kami di sini bukan untuk membela atau membuktikan penyataan—hal itu nanti dilakukan pada bab lain—tetapi sekadar mengetengahkannya sebagai salah satu sumber pengetahuan manusia dan merupakan sumber utama teologi.
DEFINISI DAN PEMBIDANGAN TEOLOGI
TEOLOGI (Yunani theologia), secara
harfiah ‘ilmu pengetahuan tentang
Allah.' Dalam pengertian Kristen adalah
ilmu pengetahuan tentang kebenaran
keagamaan yang dinyatakan oleh Yang
Ilahi. Temanya adalah keberadaan dan
natur Allah serta ciptaan-Nya dan
keseluruhan kompleksitas dispensasi
Ilahi dari kejatuhan Adam sampai
penebusan melalui Kristus serta
keperantaraanNya bagi manusia
melalui Gereja-Nya, termasuk yang
disebut kebenaran lazim berkenaan
dengan Allah, jiwa, hukum moral, dsb.,
yang dapat diterima oleh akal.
Tujuannya adalah penyelidikan
terhadap isi kepercayaan dengan akal
yang diterangi oleh iman (fides
quaerens intellectum) dan untuk
mendorong pemahaman yang lebih
mendalam. Teologi Katolik berbeda
dengan teologi Protestan karena
mengakui juga wewenang tradisi,
ucapan yang dianggap mengikat,
sedangkan teologi Protestan, sejauh
yang bersifat konservatif, terbatas pada
penyataan Alkitab. Namun teologi
Protestan liberal tidak mengakui
adanya penyataan kecuali yang dapat
dibenarkan oleh nurani dan akal orang
percaya. Dalam perjalanan waktu
teologi telah dikembangkan ke dalam
beberapa cabang, di antaranya teologi
dogmatika, historika, dan praktika,
24.
namun metode pengklasifikasian
subdisiplin-subdisiplin tersebut
berlainan dalam sistem teologi
berbeda.?
Seperti dicatat pada kalimat terakhir definisi di atas, metode pembidangan lapangan umum teologi itu berbeda-beda. Strong menyajikan empat pembidangan: Teologi Biblika, Teologi Historika, Teologi Sistematika, dan Teologi Praktika.³ A. A. Hodge mengusulkan enam pembidangan: Ilmu-ilmu pengetahuan tambahan terhadap studi Teologi, Apologetika, Teologi Eksegetika, Teologi Sistematika, Teologi Praktika, dan Teologi Historika.⁴ Chafer mendaftarkan dua belas penggunaan kata tersebut: Teologi Natural, Teologi yang Dinyatakan, Teologi Biblika, Teologi Proper, Teologi Spekulatif, Teologi Perjanjian Lama, Teologi Perjanjian Baru, Teologi Paulus, Petrus, Yohanes, Teologi Praktika, dan Teologi Sistematika atau Teologi Thetika.⁵ Thiessen mengklasifikasikan lapangan ini: Teologi Eksegetika (yang mencakup studi Bahasa Alkitab, Arkeologi Alkitab, Introduksi Alkitab, Hermeneutika, dan Teologi Biblika); Teologi Historika (mencakup Sejarah Alkitab, Sejarah Gereja, Sejarah Pekabaran Injil, Sejarah Ajaran, dan Sejarah Kredo serta Pengakuan-Pengakuan Iman); Teologi Sistematika (terdiri dari Apologetika, Polemik, dan Etika Alkitab); dan Teologi Praktika (mencakup Homiletika, Organisasi dan Administrasi Gereja, Liturgi atau Tata Ibadah, Pendidikan Kristen, dan Penginjilan).⁶
Kiranya menolong apabila pada butir ini diadakan pendefinisian lebih lengkap bagi isi dan metodologi subdisiplin yang ada dalam Teologi.
1. TEOLOGI BIBLIKA: Istilah ini memiliki penggunaan yang beragam. Beberapa orang telah menggunakannya bagi teologi apa saja yang diklaim hanya didasarkan pada Alkitab. Yang lain telah membuatnya berarti penyajian ajaran secara lebih populer, sebagai lawan dari yang bersifat akademis dan gerejawi. Yang lain lagi mengaplikasikannya pada kredo awal dalam masa para rasul, dibandingkan dengan yang telah berkembang dalam sejarah ajaran; namun para ahli teologi memberi pengertian yang lebih teknis bagi istilah tersebut.
² The Oxford Dictionary of the Christian Church (London, New York, Toronto: Oxford University Press, 1958), hal. 1344.
³ Strong, op. cit., hal. 41-43.
⁴ A. A. Hodge, Outlines of Theology (Chicago: The Bible Institute Colportage Ass'n., 1878), hal. 17, 18.
⁵ L.S. Chafer, Systematic Theology (Dallas: Dallas Seminary Press, 1947), I, hal. 4, 5.
⁶ Henry C. Thiessen, Systematic Theology (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Co., 1951), hal. 46.
25.
Strong berkata, “Teologi Biblika dimaksudkan untuk menyusun dan mengklasifikasikan fakta dalam penyataan, membatasi dirinya pada Alkitab untuk mendapatkan bahannya, dan membahas ajaran hanya sejauh yang dikembangkan sampai pada akhir masa para rasul.”⁷
Ryrie menyatakan, “Teologi Biblika adalah cabang ilmu pengetahuan teologi yang secara sistematis membahas perkembangan berdasarkan sejarah dari penyataan diri Allah seperti yang terdapat di dalam Alkitab.” Ia lebih lanjut menggambarkannya sebagai “kombinasi yang sebagian bersifat historika, sebagian bersifat eksegetika, sebagian bersifat kritik, sebagian bersifat teologi, yang memberi perhatian pada alasan mengenai mengapa suatu hal ditulis serta apa yang ditulis.⁸
Lindsay mengatakan, “Pentingnya Teologi Biblika terletak pada caranya memberi arah, membetulkan, dan membernaskan semua teologi moral dan dogmatika dengan cara membawanya kepada sumber asli kebenaran itu. Semangatnya adalah semangat penyelidikan sejarah secara netral."⁹
Kaehler mengatakan, “Teologi Biblika, atau cara mengetengahkan secara tersusun isi bersifat ajaran dari Alkitab, adalah cabang ilmu pengetahuan teologi yang relatif baru. Secara umum istilah itu mengemukakan tidak lebih dari penyusunan teologi Alkitabiah dalam pengertian khusus sebagai metode yang mengolah bahan Alkitab, dengan sifat berada di pertengahan antara eksegetika dan dogmatika.” Ia berkata bahwa mula-mula maksudnya membuat Alkitab sebagai satu-satunya dan sumber tunggal ajaran Kristen dengan membiarkan Alkitab berbicara dari dirinya sendiri, tetapi penanganan metode sejarah dan sejarah keagamaan di tangan para ahli teologi liberal yang memberi tekanan hanya pada satu sisi telah menghasilkan apa yang disebutnya “penghancuran diri sendiri disiplin bersangkutan.” Sebab itu ia selanjutnya mengatakan, “Karenanya bukanlah tugas Teologi Biblika untuk mengkritik teologi Alkitab itu sendiri dan menghakiminya dengan alat ukur berupa pengertian tidak pasti yang diperoleh secara ilmu pengetahuan atas yang asli, tetapi untuk menunjukkan apa yang pada faktanya menjadi muatan Alkitab sambil di saat yang sama
⁷ Strong, op. cit., hal. 41,
⁸ Charles Caldwell Ryrie, Biblical Theology of the New Testament (Chicago: Moody Press, 1966), hal. 12
⁹ James Lindsay, The International Standard Bible Encyclopaedia (Chicago: The Howard Severance Company, 1915), I, hal. 470.
26.
menunjukkan bentuk-bentuk dan jenis-jenis berbeda yang di dalamnya muatan itu disajikan. ¹⁰
2. TEOLOGI DOGMATIKA: Istilah ini juga telah memiliki berbagai arti. Terkadang disamakan dengan Teologi Sistematika, tetapi asal mulanya berkaitan dengan pemaparan dan upaya mempertahankan ajaran dari badan atau denominasi gereja tertentu. Dalam teologi Yunani, dogma dan ajaran memiliki arti yang sama. Kata dogma digunakan lima kali dalam Perjanjian Baru dan dalam KJV diterjemahkan decree dan ordinance (bandingkan Lukas 2:1; Kisah Para Rasul 16:4; 17:7; Efesus 2:15; Kolose 2:14; TB: perintah, keputusan, ketetapan, ketentuan). Dogma dari kata dokeo, artinya berpendapat, berpikir, memaksudkan, datang pada kesimpulan, sehingga dogma bukan sekadar berarti pendapat, tetapi keputusan atau penetapan bahwa sesuatu itu benar atau mengikat. Strong mengadakan pembedaan yang jelas antara teologi dogmatika dan sistematika:
Teologi sistematika harus jelas
dibedakan dari teologi dogmatika.
Dalam penggunaannya yang tepat
teologi dogmatika adalah
penyistematisan ajaran yang
dikemukakan dalam lambang gereja
(yang ia maksudkan pengakuan iman,
kredo, pernyataan iman, dsb.) bersama
dasarnya dalam Alkitab, dan
pemaparan, sejauh mungkin,
kepentingan logis terhadap ajaran itu.
Di pihak lain teologi sistematika bukan
dimulai dengan lambang tetapi dengan
Alkitab. Teologi sistematika
pertama-tama bertanya, bukan apa
yang dipercayai gereja, tetapi
kebenaran apa yang ada dalam Firman
yang dinyatakan Allah.¹¹
Berkhof mengungkapkan pandangan lain. Ia mengatakan bahwa istilah dogmatika,
lebih disukai bahkan terhadap
sebutan teologi sistematika yang
banyak digunakan, (1) karena lebih
khusus dan menunjukkan pokok
sebenarnya dari studi tersebut dengan
ketepatan yang jauh lebih baik, dan (2)
karena kata keterangan “sistematika”
cenderung memberi kesan
seakan-akan studi bersangkutan
adalah satu-satunya studi teologi yang
membahas pokok ulasannya dengan
susunan yang logis ....¹²
Ia membuat pernyataan berikut mengenai dogma:
dogma adalah ajaran yang secara
resmi ditetapkan oleh gereja dan
dinyatakan sebagai bersandar pada
wewenang Ilahi.'¹³ Pendapat pribadi,
betapa
¹⁰ M. Kaehler, The New Schaff-Herzog Encyclopedia of Religious Knowledge (Grand Rapids: Baker Book House, 1949), II, hal. 183.
¹¹ Strong, op. cit., hal. 41, 42.
¹² Louis Berkhof, Systematic Theology (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Co., 1941), hal. 12.
¹³ Ibid., hal. 14.
27.
pun benar dan berguna, tidak
membentuk dogma Kristen.'*
Pertanyaan yang mungkin saja
muncul, badan gereja mana yang
memiliki kuasa untuk menentukan hal
yang harus dipercayai .... Gereja
Reformed secara khusus selalu
menekankan fakta bahwa setiap
gereja lokal adalah perwakilan lengkap
Gereja Yesus Kristus, dan karena itu
memiliki potestas dogmatica atau
docendi, kuasa menentukan hal yang
diakui sebagai dogma dalam
lingkungannya sendiri.' Sementara
mereka (Gereja Protestan) menuntut
penerimaan terhadap dogma mereka,
sebab mereka menganggap dogma itu
rumusan yang tepat atas kebenaran
Alkitab, mereka mengakui
kemungkinan bahwa Gereja dapat saja
salah dalam mendefinisikan
kebenaran. Dan jika dogma ditemukan
bertentangan dengan Firman Allah,
dogma itu menjadi tidak lagi
berwenang.''
3. TEOLOGI SISTEMATIKA: Karena perlu, di atas sudah ada hal yang dikemukakan mengenai disiplin ini. Strong berkata, “Teologi sistematika mengambil bahan yang disediakan teologi biblika dan historika, dan dengan bahan itu mengupayakan untuk membangun keseluruhan yang sistematis dan bersesuaian menyangkut semua pengetahuan kita tentang Allah dan tentang hubungan antara Allah dan semesta alam, baik pengetahuan itu berasal dari alam maupun dari Alkitab.!"
Chafer mengajukan definisi ini: “Teologi sistematika dapat didefinisikan sebagai pengumpulan, penyusunan secara ilmiah, pembandingan, pemaparan, dan pembelaan seluruh fakta dari semua dan dari setiap sumber mengenai Allah dan karya-Nya. 18
4. TEOLOGI HISTORIKA: Disiplin ini pada praktiknya sama dengan sejarah ajaran Kristen. Teologi historika menelusuri perkembangan ajaran Kristen dari zaman para rasul hingga sekarang.
5. TEOLOGI PRAKTIKA: Cabang teologi ini berurusan dengan disiplin ilmu yang ada hubungannya dengan persiapan orang yang akan menyebarkan berita dari teologi, serta sarana dan metode untuk membuat hal itu terlaksana. Bahkan di bidang ini pun pertimbangan dispensasional memainkan peranan penting. Tuhan berkata kepada murid-murid-Nya, “Janganlah kamu kuatir akan bagaimana dan akan apa yang harus kamu katakan, karena semuanya itu akan dikaruniakan kepadamu pada saat itu juga” (Matius 10:19). Apakah perintah ini untuk diterapkan pada masa sekarang, atau apakah para pembelajar yang akan melayani harus mempersiapkan diri mereka pada suatu institut atau seminari Alkitab?
14 Ibid., hal. 22.
15 Ibid., hal.17.
16 Ibid., hal.25.
17Strong, -, op. cit., Vol. I, hal. 6.
18 Chafer, op. cit., Vol. I, hal. 6.
28.
Kembali , Tuhan mengutus murid-murid-Nya untuk pergi berdua-dua (Markus 6:7). Apakah ini kehendak Tuhan bagi para pemberita masa kini? Banyak pertanyaan lain dapat diajukan menyangkut metode maupun berita bagi para pelayan Injil yang hanya dapat dijawab dengan pemikiran dispensasional terhadap Alkitab.
5 TEOLOGI KONTEMPORER
Hordern telah menggambarkan suasana teologi masa kini (kontemporer) sebagai berikut:
Jika seorang awam yang mana saja
atau seorang pengurus jemaat masuk
ke dalam suatu diskusi teologi
modern, ia mungkin saja percaya
bahwa ia telah memasuki semacam
wilayah “Alice in Wonderland” (Alice
di Negeri Khayal). la akan menemukan
para ahli teologi secara serius
menanyakan jika “Kristus kerugmatis”
(Kristus yang diberitakan oleh
Gereja) itu sama dengan Yesus
sejarah. Ia akan mendengar beberapa
orang berargumen bahwa iman
Kristen tidak tertarik dengan Yesus
sejarah. Ia akan mendengar bahwa
iman itu tidak dapat dibantu ataupun
dihalangi oleh pengetahuan tentang
Yesus sejarah. ¹
Kita juga dapat menambahkan, ia akan mendengar sejumlah hal aneh, mulai dari demitologisasi Alkitab sampai ke ateisme Kristen dan Kristen “Allah itu mati”.
Menelaah kancah modern itu secara mendalam memerlukan berjilid-jilid buku, dan para pembelajar akan menemukan banyak jilid yang sudah ditulis tentang pokok tersebut. Pada bab yang ruangnya sempit ini hanya ulasan paling terbatas yang dapat diberikan, sekadar untuk mengakrabkan pembelajar dengan beberapa kecenderungan utama di luar teologi ortodoks. Orang mendengar banyaknya macam pendekatan terhadap Alkitab: Historisisme, Telaah Sastra, Kritik Bentuk, Relativisme Historis, dsb. Banyak sebutan telah diberikan kepada sistem-sistem teologi modern: Modernisme, Liberalisme, Neoortodoksi, Neoliberalisme, Bultmanisme, Teologi Krisis, Barthianisme, Neoinjili,
¹ William Hordern, New Directions in Theology Today (Philadelphia: The Westminster Press, 1966), I, hal. 56.
29.
Konservatisme, Fundamentalisme, dsb. Untuk mendapatkan pengertian mengenai gejolak yang sedang terjadi dalam dunia teologi seseorang haruslah akrab dengan pengajaran dari orang seperti Friedrich Schleiermacher, Soren Kierkegaard, Immanuel Kant, Adolph Harnack, Emst Troeltsch, Albert Schweitzer, Karl Barth, Emul Brunner, Martin Heidegger, Rudolf Bultmann, Harvey Cox, Paul Tillich, Reinhold Niebuhr, dan sejumlah nama lainnya, yang semuanya berada di luar kelompok konservatit:
Kita harus berhati-hati menyematkan sebutan pada orang tertentu, kecuali sebutan tersebut diambil dari nama yang bersangkutan, misalnya Bultmanisme, Bultmann, Brunner, dan Barth telah dikelompokkan sebagai Neoortodoks, namun ada jurang pemisah yang lebar di antara pandangan mereka. E. J. Camell, Carl Henry, dan Dewey Beegle telah dikelompokkan sebagai Neoinjili, namun ada perbedaan penting dalam pandangan mereka tentang ketiadasalahan Alkitab. Kita mungkin merujuk kepada Pentakostalis, Nazarene, dan Dispensasionalis sebagai fundamentalis, tetapi tetap saja ada perbedaan sangat jauh dalam ajaran dan praktik mereka. Tentu saja tidak bijaksana dan tidak adil mengelompokkan orang dengan sebutan demikian lalu menyalahkan ataupun membenarkan mereka berdasarkan pengelompokan itu. Ketika sebutan digunakan, sebutan itu harus didefinisikan dengan baik, dan kehatihatian harus dimiliki untuk memastikan bahwa individu bersangkutan benar-benar cocok dengan definisi tersebut.
PERBEDAAN DASAR
Terdapat banyak perbedaan di antara berbagai aliran teologi yang ada sekarang dan sangat sukar mencari cara sederhana untuk memilah-milahı aliran-aliran tersebut. Namun kelihatannya ada perbedaan mendasar di antara semua aliran teologi Protestan yang ortodoks, konservatit, injili, dan fundamental dibanding semua sistem lainnya, yakni menyangkut sikip terhadap Alkitab. Mereka yang berpegang pada pandangan Protestanortodoks-tradisional terhadap Alkitab, yakni bahwa Alkitab itu penyataan Allah yang dalam tulisan aslinya tiada salah dan tidak mungkin salah, memiliki kesepakatan dasar yang sama dalam sistem teologi mereka. Perbedaan mereka terletak pada penafsiran terhadap kebenaran tertentu, seperti tentang waktu kedatangan Kristus yang kedua kali, tetapi bukan pada fakta kedatangan-Nya yang kedua kali itu. Di pihak lain, mereka yang menolak pengilhaman kata demi kata (verbal) Alkitab, baik atas
30.
sebagian maupun keseluruhan Alkitab, menghasilkan aliran teologi yang didasarkan pada beberapa sumber lain, yang lain dari penyataan Ilahi.
Apa sebetulnya yang telah menyebabkan banyaknya ahli fologi berpaling dari Alkitab sebagai buku yang diilhamkan Allah? Penyebab utamanya turus ditemukan pada ilmu pengetahuan masa kini, yang berjalan bergandengan tangan dengan natur yang telah jatuh dan rusak. Ilmu pengetahuan berusaha menjelaskan semua hal sebagai gejala alam. Manusia modemi menganggap ilmu pengetahuan sebagai semacam penyelamat, yang kepadanya ia harus tunduk dalam kepatuhan. Baik menyangkut penyembuhan atas tubulunya, pengendalian terhadap kekuatan alam, perjalanan luar angkasa maupun hanpan bagi masa mendatang, manusia telah datang kepada ilmu pengetahuan sebagai pemberi jawabun, dan dengan begitu manusia pun berpaling dari Allah yang dianggap tidak diperlukan lagi, bahkan sebagai ide yang menjengkelkan. Ada banyak hal yang tadinya dianggap hanya dikuasai kekuatan dan kendali Allah yang kini telah dimanipulasi ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan mengharapkan dapat menciptakan kehidupan dan mengendalikan faktor bawaan genetis, dan andaikata hal tersebut benar-benar terjadi, kebanyakan orang akan menisa manusia itu sendiri adalah Allah. Situasi demikian pada masa mendatang telah digambarkan dalam 2 Tesalonika 2:2, 4. Bukan saja umat manusia secara terangterangan telah tunduk pada ilmu pengetahuan karena hal yang dapat dilakukan ilmu pengetahuan, tetapi mereka juga telah merasa tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan lagi untuk percaya kepada suatu Allah berpribadi yang bukan dari dunia, yang menguasai kekuatan alam.
KRITIK HISTORIS
Pada zaman ilmu pengetahuan ini Alkitab telah menjadi sasaran jenis kritik tertentu yang maksudnya sudah jelas sejak semula yakni untuk membantah kewenangan dan kesesuaian-dengan-sejarah berbagai kitab dalam kanon. Salah satu usaha semacam itu yang telah membawa pengaruh merusak iman banyak orang adalah yang disebut Kritik Sejarah (Historis). Kritik tersebut juga dikenal sebagai Kritik Tinggi (Higher Criticism, secara harfiah: Kritik Lebih Tinggi) dan, karena hasil-hasilnya, juga sebagai Kritik Perusak (Destruktif). Perlu dimengerti bahwa kata kritik yang digunakan dalam konteks ini bukan berarti untuk menemukan kesalahan, tetapi untuk menerapkan prinsip atau aturan guna menentukan sifat yang ada pada penggalan karya sastra, Kritik rendah atau kritik naskah menaruh perhatian pada pengujian terhadap semua tulisan tangan (manuskrip) kuno Alkitab yang masih ada dengan membandingkan semua manuskrip itu untuk tiba
31.
pada naskah yang sedekat mungkin dengan aslinya. Kritik tinggi bukan tinggi dalam pengertian superioritas, tetapi lebih tinggi atau berada di atas dalam susunannya: upaya untuk tiba pada naskah sebenarnya berada di susunan pertama atau dasar, disusul kritik yang menguji kandungan Alkitab dengan rujukan komposisi, penulis, waktu penulisan, dan nilai sejarah yang ditentukan oleh bukti internal. Harus dikatakan bahwa kedua jenis kritik ini baik dan berguna apabila dilakukan dengan benar. Tetapi, seperti yang dikatakan Orr,
Kritik menjadi salah apabila
dilakukan dengan ceroboh, atau di
bawah pengaruh beberapa teori yang
menguasai, ataupun di bawah
prasangka. Penyebab utama kesalahan
dalam penerapannya terhadap tulisan
yang berkenaan dengan penyataan
supematural adalah asumsi bahwa
tidak ada hal supernatural yang dapat
terjadi. Ini unsur perusak dalam
kebanyakan kritik terbaru, baik
terhadap PL maupun PB.²
Kritik Alkitab akan dibicarakan lebih luas dalam pokok Bibliologi, tetapi cukuplah di sini dikatakan bahwa kelompok kritik tinggi telah jatuh ke dalam kendali orang-orang yang mendekati Alkitab dengan dasar pemikiran bahwa tidak ada hal supernatural yang dapat terjadi, dan dengan kesombongan ilmu pengetahuannya mereka berupaya membuktikan untuk kepuasan mereka sendiri bahwa unsur supernatural Alkitab harus disingkirkan. Mereka menolak kepenulisan Musa atas Pentateukh. Mereka memberi tanggal bagi waktu penulisan kitab-kitab para nabi jauh lebih kemudian daripada waktu yang dipegang secara tradisional guna meniadakan unsur bersifat ramalan (nubuat) dalam kitab-kitab itu. Mereka menempatkan kitab undang-undang keimaman (Imamat) pada waktu sesudah pembuangan ke Babel. Baur yang mengembangkan bahwa kitab undang-undang keimaman adalah setelah penahanan ke Babel. Baur juga membangun teori bahwa dua golongan saling bertentangan telah berkembang dalam Gereja Perjanjian Baru, masing-masing dipimpin Petrus dan Paulus, dan bahwa kitab Kisah Para Rasul ditulis seabad kemudian untuk mengurangi perbedaan yang ada. Hanya empat dari surat-surat Paulus yang dianggap asli dan Injil Yohanes diberi tanggal sekitar tahun 170 M. Orr lebih lanjut berkata,
“Di pihak lain, kelompok radikal
baru dan sangat agresif kini telah
tampil, yakni yang dinamakan 'kritik
historis,' yang memperlakukan
naskah dan sejarah kitab-kitab Injil
pada umumnya dengan kecerobohan
tanpa batas. Bahkan diragukan jika
Yesus telah mengklaim sebagai
Mesias (Wrede). Peribahasa telah
diterima, ditolak, atau dirusak
semaunya."} ³
² James Orr, The International Standard Bible Encyclopaedia (Chicago: The Howard Severance Company, 1915), IL, hal. 749.
³ Ibid., II, hal. 753.
32.
Orr mengungkapkan keyakinan bahwa “perbuatan melampaui batas ini kiranya akan reda dengan sendirinya," tetapi sejak zamannya kritik historis telah menjadi semakin melampaui batas.
BULTMANNISME
Salah satu sistem teologi radikal pada zamannya adalah yang dikembangkan Rudolf Bultmann. Sistem ini terutama dikenal karena prinsip demitologisasi Alkitabnya. Bultmann mengklaim bahwa unsur-unsur supernatural dalam Alkitab, misalnya kebangkitan tubuh Kristus, adalah mitos atau dongeng. Mitos didefinisikannya, “penggunaan perumpamaan untuk mengungkapkan hal yang rohani dengan terminologi dunia ini dan hal yang Ilahi dengan terminologi kehidupan manusia, yang dari sisi lain dengan terminologi sisi ini."⁴ Bultmann mengklaim kebangkitan Kristus bukan peristiwa sejarah. Kebanyakan orang mendefinisikan peristiwa sejarah sebagai sesuatu yang benar-benar pernah terjadi pada suatu tempat dan waktu tertentu, namun mereka yang menggunakan metode Kritik Historis tidak mendefinisikan sejarah tepat demikian. Sejarah bukan sekadar hal yang ditulis seorang sejarawan dalam suatu buku. Catatan demikian dapat saja mengandung legenda dan mitos, seperti banyak sejarah kuno yang telah sampai kepada kita. Unsur-unsur itu harus disaring. Kini para ahli kritik telah memperlakukan Alkitab sama seperti mereka memperlakukan buku kuno lainnya, murni sebagai hasil karya manusia. Sebelum sesuatu dalam Alkitab dapat dianggap sebagai sejarah, para ahli kritik tersebut harus menyaring semua unsur legenda dan mitosnya. Saringan bagaimana yang mereka gunakan? Prinsip pertama mereka adalah menyangkut kontinuitas sejarah: peristiwa sejarah haruslah memiliki sebab yang bersifat sejarah. Prinsip kedua mereka adalah analogi: periksa peristiwa sejalan (beranalogi) yang ada dalam budaya zaman bersangkutan.
Walaupun penyebab dari segi sejarah bagi kematian Kristus dapat ditemukan (la dihukum mati oleh gubernur Roma), dan dengan memeriksa peristiwa yang sejalan dengan itu kita mengetahui ada banyak orang lain dihukum mati pada zaman itu dengan cara disalibkan, tidak ada penyebab dari segi sejarah bagi kebangkitan-Nya. (Kami percaya kebangkitan-Nya telah disebabkan oleh kuasa di luar sejarah, yakni kuasa supernatural Allah.) Dan tidak ada peristiwa yang sejalan dengan itu dalam sejarah yang dapat menjadi pembanding bagi kebangkitan-Nya.
⁴ Rudolf Bultmann, Kerygma and Myth, hal. 10., dikutip oleh George E. Ladd, Christian Faith and Modern Theology (New York: Channel Press, 1964), hal. 279.
33.
(Kami percaya kebangkitan Kristus itu unik.) Para ahli kritik tersebut mengatakan kepada kita, pengalaman dan ilmu pengetahuan setuju bahwa orang mati tidak hidup kembali. Karena itu, kritik tersebut menyimpulkan jasad Yesus tidak mungkin hidup kembali, sehingga cerita kebangkitan dalam Perjanjian Baru adalah mitos yang harus disaring. Tetapi menurut Bultmann, mitos kebangkitan telah digunakan dalam Alkitab untuk mengungkapkan hal yang “rohani” dengan terminologi “dunia ini.” Ia mengatakan kebangkitan Kristus terjadi dalam kerugma, yakni, ketika Injil diberitakan, Yesus hadir. Bultmann bersama yang lainnya tampaknya merasa bahwa ilmu pengetahuan telah menjadi pengambil kesimpulan akhir, karena itu tolok ukur ilmu pengetahuan harus diaplikasikan kepada catatan Alkitab untuk membebaskan Alkitab dari semua yang tidak cocok dengan ilmu pengetahuan sebelum orang dalam zaman yang telah tercerahkan ini dapat menerimanya. Tetapi, tentu saja, ketika setiap hal yang supernatural disingkirkan dari Alkitab, tidak banyak lagi yang tersisa bagi manusia modern.
Andaikata manusia modern telah hidup di Mesir pada zaman Keluaran atau di Israel pada masa pelayanan Tuhan kita, ia tentu akan banyak mengetahui tentang mukjizat supernatural, namun pada masa kini ia telah menerima semboyan ateistis klasik: fakta bahwa mukjizat tidak terjadi sekarang ini adalah bukti bahwa mukjizat tidak pernah terjadi. Jawaban bagi persoalan ini adalah jawaban dispensasional. Sir Robert Anderson mengingatkan dirinya sendiri akan permasalahan ini dalam bukunya, The Silence of God, dan mengemukakan jawaban sangat memuaskan mengapa mukjizat fisik atau jasmaniah tidak kelihatan sekarang ini, yang terutama didasarkan pada sifat dispensasional hubungan Allah dengan bangsa Israel. Petrus juga membahas masalah yang sama ketika ia mengingatkan kita bahwa pada hari-hari terakhir orang akan datang kepada ajaran tentang kontinuitas sejarah ini untuk menolak kepercayaan apa pun menyangkut kedatangan Kristus yang kedua kali yang akan kasatmata itu, dengan mengatakan bahwa segala sesuatu masih berlangsung seperti semula, masih seperti pada waktu dunia diciptakan (2 Petrus 3:4). Jawaban Petrus adalah bahwa orang demikian sengaja tidak mau tahu mengenai campur tangan Ilahi dalam sejarah masa lampau manusia. Fakta di depan mata kita bahwa ada begitu banyak ahli ilmu pengetahuan berkualitas tinggi yang telah menjadi orang percaya yang tekun terhadap Alkitab sebagai buku yang diilhamkan Allah adalah bukti bahwa ilmu pengetahuan tidaklah perlu untuk terlebih dahulu mendemitologisasikan Alkitab sebelum Alkitab itu
34.
dapat diterima. Beberapa ahli teologi (?)modern yang memandang ilmu pengetahuan sebagai panduan yang tidak mungkin salah, kelihatannya bahkan belum pernah mengambil langkah pertama yang sangat prinsip untuk menjadi orang Kristen; karena "barangsiapa berpaling kepada Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada” (Ibrani 11:6), dan bagaimana mungkin orang-orang yang menyebut diri mereka ateis Kristen pantas menjadi ahli teologi, selain menamakan diri mereka orang Kristen. Mereka seharusnya disebut ahli-ahli ateologi.
EKSISTENSIALISME
Ajaran filsafat lainnya yang telah begitu kuat mewarnai teologi modern adalah paham Eksistensialisme. Soren Kierkegaard dari Denmark umumnya diakui sebagai bapak ajaran ini. Young mendefinisikan Eksistensialisme,
Gerakan kontemporer dalam
teologi dan filsafat. Dalam filsafat,
gerakan ini dengan kuatnya
menekankan ateistis, nihilistis, dan
pesimistis. Dalam teologi (juga
dikenal sebagai Barthianisme, teologi
dialektika, teologi krisis,
neosupernaturalisme, teologi
realistis, dsb.) gerakan ini
menekankan ketergantungan mutlak
manusia kepada Allah dan
subjektivitas sepenuhnya pengalaman
keagamaan. ⁵
Ajaran ini disebut Eksistensialisme karena perhatiannya yang sampai ke akar-akarnya terhadap eksistensi diri pribadi, dibanding terhadap hakikat yang universal. Kierkegaard memulai dengan mengajukan pertanyaan seperti, “Apa yang menjadi pokok kehidupan manusia?" “Pengertian apa yang dapat ditarik dari keberadaan manusia?” “Apakah mungkin untuk mendasarkan kebahagiaan kekal pada pengetahuan yang bersifat sejarah?” Jauh sebelumnya Socrates telah mengemukakan paradoks bahwa meskipun manusia dapat menjadi terdidik, tidak mungkin bagi manusia untuk benar-benar belajar sesuatu. Ia bertanya, “Bagaimana seseorang dapat mempelajari hal yang tidak ia ketahui?” Ia berargumen bahwa orang telah memiliki semua kemungkinan pengetahuan di dalam dirinya dan yang kita sebut belajar hanyalah merupakan hal mengingat kembali apa yang sudah ada di dalam diri kita. Kierkegaard menyajikan jawaban berbeda atas paradoks ini. Ia menyetujui memang benar bahwa sebelum mendapatkan pengetahuan manusia tidak mempunyai sarana mengenal kebenaran jika ia bertemu dengan kebenaran. Tetapi jika ia
⁵ Warren C. Young, A Christian Aproach to Philosophy (Wheaton, Il.: Van Kampen Press, 1954), hal. 247.
35.
memang mempelajari sesuatu, pastilah telah terjadi sesuatu padanya yang membuat ia berbeda dibanding sebelumnya. Daripada pengetahuan datang oleh mengingat, Kierkegaard menjelaskannya sebagai saat pencerahan, semacam transformasi ajaib yang terjadi di dalam diri si pembelajar pada suatu saat yang menentukan dalam keberadaannya. Dan apa pun yang menjadi penyebab pencerahan ini Kierkegaard menyebutnya sebagai Allah. Filsafatnya bersifat skeptisisme dan ketidakpastian. Manusia tidak dapat mengetahui apa pun oleh dirinya sendiri. Pengalaman indra dan informasi bersifat sejarah secara tetap berubah dan manusia tidak dapat mengatakan jika ada dari informasi tersebut yang benar. Manusia terperangkap dalam keadaan berbahaya yang menakutkan: ia tidak memiliki pengetahuan nyata padahal ia perlu mengetahui arti keberadaannya. Apa yang harus dilakukannya? Kierkegaard mengatakan manusia dapat memutuskan untuk tinggal dalam kegelapan atau manusia dapat melakukan “lompatan ke dalam kemustahilan," secara buta memercayai ada Allah yang akan, jika kita inginkan, memberikan kita pencerahan. Namun, tidak ada cara untuk mengetahui hal yang harus dipercayai; tidak ada bukti bagi iman: satu-satunya yang dapat dilakukan seseorang adalah percaya pada iman semata.
Ada beberapa ahli filsafat yang telah menerima eksistensialisme Kierkegaard tetapi menolak pemecahannya sebagai tindakan untuk percaya. Orang-orang seperti Jean-Paul Sartre adalah benar-benar ateistis dan filsafat mereka adalah salah satu dari yang humanis. Tidak diragukan bahwa bencana besar di Eropa yang telah dihasilkan oleh dua perang dunia, dengan segala penghancuran dan penumpahan darah tanpa perasaan yang terjadi, telah mewariskan kesan kepada manusia bahwa dunia tidak dapat dipahami dan bahwa nilai-nilai hidup yang pernah dipegang telah menjadi tidak berguna. Dengan kegelisahan yang ada di dunia selama tahun-tahun “perang dingin” yang semakin “memanas," dengan ancaman munculnya perang dunia ketiga yang kengeriannya tidak terbayangkan, dan tanpa harapan ke depan kecuali menjadi “serdadu umpan meriam,” banyak anak muda yang cenderung menerima pandangan pesimistis mengenai dunia ini, dan merasa bahwa semua nilai yang pernah diperbincangkan orang sebagai tidak benar lagi.
NEOORTODOKSI
Neoortodoksi didasarkan atas premis-premis eksistensial seperti yang dikemukakan di atas. Karl Barth muncul sebagai pembela sistem
36.
teologi ini di akhir Perang Dunia II. Dua perang dunia telah sepenuhnya meruntuhkan optimisme teologi liberal yang menuntun orang untuk percaya bahwa manusia sendiri sanggup menyelesaikan semua masalah dunia melalui injil sosial. Kini waktunya bagi pendulum untuk berayun balik, dan Barth mengajak manusia kembali ke realitas dosa serta ke transenden(tak dapat dicapai)nya Allah. Ia menolak semua teologi dan ilmu pengetahuan lazim sebagai pemberi penyataan apa pun mengenai Allah. Alkitab bagi Barth bukanlah penyataan objektif Allah: Alkitab adalah buku manusiawi dan dapat salah, tetapi mempunyai kemampuan menjadi firman Allah dalam perjumpaan eksistensial manusia dengan Allah. Barth mewakili langkah balik tak penuh ke ortodoksi. Pandangannya telah disebut juga “Teologi Krisis,” karena meyakini bahwa semua lembaga manusia tidak terelakkan telah tersesat oleh kontradiksi mereka sendiri dan bahwa krisis yang dihasilkan oleh hal itu telah memaksa manusia untuk menjadi putus asa dengan upayanya sendiri, serta dapat saja menyebabkan manusia untuk kembali kepada penyataan dan anugerah Ilahi di dalam iman. Barthianisme disebut juga Teologi Dialektika karena penggunaannya terhadap metode dialektis.
Neoortodoksi, bersama Bultmannisme, menyambut penemuan kritik liberal yang destruktif terhadap Alkitab. Ryrie mengutip Brunner, ahli teologi neoortodoksi asal Swiss, “Ortodoksi telah menjadi tidak mungkin bagi siapa saja yang telah paham ilmu pengetahuan. Ini saya namakan keberuntungan.”⁶ Ryrie juga mengutip dari Hendry, The Rediscovery of the Bible, hal. 144, untuk menunjukkan bahwa Neoortodoksi berpikir dapat menggabungkan pandangan liberalisme dan ortodoksi ke dalam suatu sistem sintesis ortodoksi baru:
Jika ada sesuatu yang baginya
nama “penemuan kembali” dapat
diterapkan, pastilah itu bagi
pandangan ini terhadap Alkitab (yang
ternyata pandangan Alkitab sendiri)
sebagai saksi bagi Firman Allah. Hal
tersebut membebaskan kita dari
antitesis keliru yang telah dibangun
oleh “ortodoksi" dan "liberalisme,”
melalui pemusatan perhatian
masing-masing atas satu aspek
Alkitab, dengan perusakan terhadap
aspek lainnya, dan memungkinkan kita
melihatnya dalam kedua aspeknya,
tanpa merusak salah satunya.? ⁷
Perhatikan dialektisnya: Ortodoksi, tesisnya; Liberalisme, antitesisnya; dan Neoortodoksi, sintesisnya.
⁶ Charles Ryrie, Neo-orthodoxy, What It Is and What It Does (Chicago: Moody Press, 1956), hal. 45.
⁷ Ibid., hal. 46.
37.
Ini membawa kita kembali ke tesis asal kita bahwa titik berangkat senuua teologi modem untuk menjauh dari ortodoksi adalah sikap terhadap Alkitab. Liberalisme atau Modernisme, melalui klaim Kritik Destruktif, telah membuat Alkitab sebagai buku seutuhnya manusiawi yang penuh kesalahan dan pertentangan. Ortodoksi memercayainya sebagai Firman Allah yang diilhamkan secara verbal dan tidak mungkin salah. Neoortodoksi memegang sintesis kedua pandangan. Ryrie juga mengutip Hendry mengenai pandangan Ortodoksi atas pengilhaman, "Pandangan ini dihasilkan dari ajaran terkenal tentang ketidakmungkinan salah verbal, yang menempel begitu lama seperti penyakit perusak tanaman pada Gereja Protestan; adalah jasa yang besar dan yang tidak perlu dipersoalkan lagi dari kritik modern yang telah menghancurkan ajaran ini dan menemukan kembali sifat manusiawi Alkitab.⁸
Pandangan Ortodoksi terhadap iman adalah bahwa iman itu merupakan keyakinan yang didasarkan atas fakta yang berwenang. Jika peristiwa yang dicatat dalam Alkitab ternyata tidak benar-benar terjadi, iman menjadi tidak ada dasarnya. Pandangan Neoortodoksi atas iman kelihatannya, seperti yang diungkapkan Kierkegaard, “suatu lompatan ke dalam kemustahilan," percaya pada iman semata tanpa bukti penyokong apa pun. Kami setuju dengan Hordern bahwa teologi modern itu laksana teologi "Alice di Negeri Khayal."
⁸ Ibid., hal. 47
38.